Oleh
harmen batubara
Banyak para
pengamat Asean sepertinya kecewa dengan berbagai upaya yang telah dilakukan
oleh Indonesia sebagai ketua Asean 2011 terhadap penyelesaian Konflik
perbatasan antara Thailand-Kamboja. Sebagai Ketua ASEAN, Indonesia dinilai
hanya akan ”berjalan di tempat” jika pendekatan yang diambil dan dilakukan
dalam menangani sejumlah persoalan politik dan keamanan antara negara
anggotanya masih terkesan sekadar formalitas dan untuk pencitraan semata. Hal
itu bisa terjadi karena “mereka terlalu berharap banyak pada Asean”. Sementara
Asean itu sendiri meski umurnya sudah 40 tahun, tetapi sesungguhnya manfaatnya
belum bisa dirasakan oleh warganya sendiri. Konsep Asean bisa melambung
kemana-mana, tetapi kita lihat sendiri kan? Masalah TKI kita sama sekali tidak
mendapatkan makna apa-apa dari Asean tersebut. Yang kita lihat adalah upaya AS
dan sekutunya atau China dan jajarannya, mencoba mengambil manfaat yang
sebesar-besarnya dari Asean. Asean sendiri tidak punya opsi apa-apa. Apalagi
kini seperti yang para pengamat harapkan agar Indonesia sebagai ketua Asean
bisa member arti bagi persoalan konflik batas antara Thailand-Kamboja dan juga
terkait persoalan Demokrasi di Myanmar.
Penilaian
seperti itu tercetus dalam diskusi oleh International NGO Forum on Indonesian
Development, Senin (23/5), tentang isu konflik perbatasan Thailand-Kamboja
serta kelanjutan proses demokratisasi dan rekonsiliasi di Myanmar. Diskusi
menghadirkan pembicara utama Priyambudi Sulistyanto, staf pengajar Flinders
Asia Centre, Universitas Flinders, Australia. Harapan mereka justeru terlihat
sangat tidak realistis. Terlebih lagi kalau hal seperti itu diharapkan dari
ketua Asean 2011. Masih jauh panggang dari Api. Sementara itu, dari
Konferensi Tingkat Menteri Ke-16 Gerakan Nonblok, Menlu Marty Natalegawa
menyatakan, pihaknya telah mengajukan tawaran paket solusi masalah perbatasan
kedua negara. Hanya saja sampai sekarang baru Kamboja yang setuju,termasuk
pertemuan mereka di Bogor awal april lalu yang tidak menghasilkan apa-apa atau menemui
jalan buntu.
”Masalah
perbatasan antara dua negara memang tidak bisa diselesaikan dalam waktu
singkat, apalagi kalau sudah menjadi konflik terbuka seperti Kamboja-Thailand
ini. Butuh proses,” tutur Marty waktu itu. Juga perlu di catat, penegasan perbatasan
antara Indonesia-Malaysia di Kalimantan juga mencapai 35 tahun. Tokh sampai
sekarang belum selesai-selesai juga, dan bahkan jelas-jelas meninggalkan “bom
waktu”. Begitu juga terkait soal indikasi konflik perbatasan dimanfaatkan oleh
pemimpin negara masing-masing, terutama untuk mencari keuntungan politik di
dalam negeri mereka, Marty menilai hal itu sebagai fakta yang tidak terelakkan.
”Memang ada dinamika di dalam negeri masing-masing yang tentunya juga
berpengaruh pada proses perundingan. Sekarang tinggal bagaimana setiap pihak
menyikapi semua itu,” katanya. Menurut Marty, berhasil atau tidaknya
perundingan damai terpulang pada itikad baik dari kedua negara. Dalam
kesempatan tersebut dia juga mensinyalkan kemungkinan penanganan oleh mekanisme
internasional, seperti Dewan Keamanan PBB, terutama jika opsi penyelesaian
melalui ASEAN gagal.(Kompas/24/5/2011/DWA/DHF)
Belajar Dari Sipadan-Ligitan
Bagi
Indonesia penyelesaian persoalan batas RI-Malaysia di pulau Sipadan – Ligitan
sesungguhnya sangat menyakitkan dan melukai jiwa kebangsaan. Tetapi harus
diakui bahwa pilihan itu adalah sebuah pilihan yang tepat dan penuh
pengorbanan. Meskipun selama ini pemerintah tetap bersikukuh bahwa “Indonesia
tidak pernah kehilangan ke dua Pulau itu”, tetapi hanya dimasukkan menjadi
milik Malaysia”. Menurut pemerintah, kedua pulau itu tidak pernah masuk dalam
peta resmi Indonesia dan bahkan dalam peta Deklarasi Juanda pada tahun 60 an
pun, kedua pulau itu tidak pernah ada dalam peta Indonesia. Jadi menurut
mereka, kedua pulau itu diputuskan oleh arbitrase Internasional untuk di
masukkan menjadi milik Malaysia. Padahal dari sisi teknis dan hukum ada dua hal
yang jadi kunci “kekuatan Indonesia di sana”. Pertama Traktat 1891,1928 yang
menggariskan batas darat di Pulau Kalimantan adalah pada Lintang 04º10’ dan
kalau garis itu diteruskan ke pulau tersebut, maka kedua pulau itu adalah milik
Indonesia. Kedua dari sejarah pembuatan mercusuar yang ada di pulau itu, yang
didirikan oleh Belanda dan itu mengindikasikannya sebagai milik Indonesia.
Tetapi
sudahlah kita lupakan masalah itu, dan kita angkat kebesaran Jiwa dari kedua
pimpinan negara kita pada waktu itu yakni Soeharto-Mahathir Mohammad yang
“merelakan” penyelesaiannya ke abitrase Internasional dan sepakat untuk
menerima hasilnya meskipun akan melepas kedaulatan atas kedua pulau
tersebut. Tetapi percaya atau tidak, hal seperti tidak akan bisa dilakukan oleh
pemimpin bangsa yang tidak kuat “otorisasinya”, seperti Soeharto dan Mahathir.
Tetapi dibawah kedua pemimpin tersebut, tidak ada pihak yang berani berkata
beda. Nah persoalannya dalam konflik batas antara Kamboja-Thailand sangat
berbeda. Secara Internasional kuil dan batas itu sudah ditetapkan jadi
milik Kamboja, tetapi Thailand tidak bisa menerima. Thailand ingin agar di wilayah
itu dilakukan kembali “penegasan dan penetapan batas” dengan jalan melakukan
delienasi dan demarkasi sesuai traktat yang ada dan ingin agar selama penentuan
“delineasi dan demarkasi” itu dilakukan terlebih dahulu agar Kamboja
bersedia mengosongkan wilayah itu dan menjadikannya sebagai “status quo”.
Jadi kedua
negara maunya berbeda; Kamboja menghendaki penyelesaian masalah lewat mediasi
pihak ketiga sedangkan Thailand menginginkan perundingan bilateral. Dalam
perkembangan berikutnya mereka juga masih berbeda. Kamboja maunya tetap
membiarkan yang ada sekarang seperti apa adanya, kemudian menyepakati untuk
penempatan Tim “ pengawas Batas” dari Asean (Indonesia) dan mencari solusi yang
bisa disepakati. Sementara Thailand maunya wilayah itu di “kosongkan” terlebih
dahulu, kemduain dibicarakan “prosedur dan proses penyelesaian yang disepakati”
dan kalau sudah bersetuju barulah Tim pengawas perbatasan di turunkan sambil
mencari solusi yang disepakati kedua belah pihak. Hasilnya jalan buntu.
Pertemuan GBC dan JBC Bogor awal april 2011 tidak bisa menghasilkan
apa-apa, termasuk untuk gencatan senjata.
Para
pemerhati politik Asean kemudian ingin agar Indonesia melakukan langkah-langkah
yang lebih konkrit hanya saja memang tidak terlalu jelas solusinya. Misalnya
dari diskusi tersebut mereka juga melihat sisi latar belakang
permasalahan, baik dalam isu konflik perbatasan Kamboja-Thailand maupun
Myanmar, sudah teramat kompleks. Apalagi, semua itu juga bermuara pada masalah
politik internal masing-masing. “Saya pesimistis dengan pendekatan
sekarang Indonesia bisa menuntaskan semuanya,” ujar Priyambudi.Dalam konteks
konflik perbatasan Thailand-Kamboja, dimensi politik internal masing-masing
negara, menurut dia, sangat kental.
Militer
Thailand yang sebelumnya mengudeta pemerintahan mantan PM Thaksin Shinawatra
dinilai sengaja menggulirkan isu perbatasan untuk membendung kekuatan Thaksin
yang masih sangat eksis menyusul pemilihan umum yang akan berlangsung dalam
waktu dekat. Mayoritas populasi kawasan perbatasan diketahui berasal dari
etnis Isaan, yang juga menjadi salah satu basis pendukung setia Thaksin.
Kembalinya kekuatan Thaksin ditakutkan pihak militer akan mengancam mereka,
apalagi mengingat militer dinilai bertanggung jawab atas tewasnya sekitar 90
pengunjuk rasa ”Kaus Merah” pascakudeta itu. Sementara di Kamboja, Perdana
Menteri Hun Sen dinilai Priyambudi juga punya motivasi pribadi, yaitu
mempromosikan putranya, Mayor Jenderal Hun Manet, lulusan West Point, Amerika
Serikat, sebagai penggantinya. Konflik perbatasan dinilai menjadi isu strategis
untuk kepentingan itu.
Tetap Pada Jalur Fasilitasi
Terkait
persoalan konflik batas, maka dari fakta yang ada serta kajian-kajian strategis
regional menunjukkan bahwa persoalan perbatasan adalah salah satu konflik yang
paling mungkin terjadi di kawasan ini. Hal yang sudah menjadi fakta adalah
persoalan batas di kepulauan Spratly di laut China selatan yang diperebutkan
oleh beberapa negara kawasan yakni China, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan
Brunai. Di Indonesia sendiri yang berbatasan dengan sepuluh negara tetangganya
mulai dari India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Kep Palau, Filipina,
PNG, Australia dan Timor Leste penegasan perbatasannya masih belum selesai.
Artinya, Asean membutuhkan suatu Pakem suatu SOP bersama yang bisa dipakai
sebagai rujukan untuk menyelesaikan persoalan batas. Pakem itu harus hasil
rumusan bersama serta di operasikan bersama. Sehingga Asean diharapkan dapat
mempunyai “konsep Solusi” bagi penyelesaian konflik perbatasan di kemudian
hari.
Untuk saat
ini Indonesia selaku ketua ASEAN sudah menyiapkan tiga langkah bagi
penyelesaian konflik perbatasan antara Kamboja dan Thailand. Indonesia juga
akan berusaha menciptakan situasi kondusif demi terciptanya perundingan damai
antara kedua negara. Pertama, ASEAN akan meminta Kamboja dan Thailand
untuk menegaskan komitmen penyelesaian masalah secara damai lewat mekanisme
Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Kedua, baik Kamboja dan Thailand
diminta untuk menstabilkan gencatan senjata. Ketiga, menggulirkan kembali
forum diplomasi yang sudah dibentuk oleh kedua negara yakni Joint Boundary
Committee (JBC).
Marty
(Menlu) menyatakan persoalan perbatasan adalah masalah sensitif dan kompleks.
Proses perundingan harus terus digulirkan, namun tetap dibutuhkan kesabaran dan
waktu. “Yang penting selama proses perundingan bergulir, maka masih ada
kemungkinan penyelesaian secara damai, dialog, dan tidak kekerasan,” katanya.
Sebagai ketua Asean, Indonesia memang diharapkan untuk mampu mencari solusi,
tetapi dalam kerangka penyelesaian konflik batas pilihan yang ada juga cukup
terbatas, yakni hanya sebagai fasilitator. Tetapi satu hal yang
perlu diingat adalah perlunya mengambil makna dari penyelesaian konflik batas
antara Indonesia-Malaysia di pulau Sipadan dan Ligitan. Meski bagi yang kalah
sangat mengecewakan, tetapi pilihan itu sendiri adalah sebuah pengorbanan yang
pantas untuk bisa menjaga ketentraman bertetangga di antara dua negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar