Rabu, 27 November 2013

KEPEMIMPINAN DAN PERILAKU ORGANISASI2



M I D
KEPEMIMPINAN DAN PERILAKU ORGANISASI


NAMA              :  SUSIYANTI ANA PUSPITA
STAMBUK     :  G2G1  12 117
KELAS            :  A


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS
ADMINISTRASI PENDIDIKAN
PASCA SARJANA UNIVERSITAS HALUOLEO
K E N D A R I
2 0 1 3




1.      Proses pengangkatan kepala sekolah ditempuh dengan jalur karir dan jalur pendidikan
a.      Pengangkatan kepala sekolah yang ditempuh dengan jalur karir
Yukl (1981: 36) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerjasama antar peran, kedudukan dari suatu jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh. Guna lebih memahami makna dari kepemimpinan, Yukl (1981:36) mengemukakan beberapa teori mengenai pengertian dan defenisi tentang kepemimpinan: (a) kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya tujuan; (b) kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan untuk dijadikan sebagaimana dalam rangka meyakinkan kepada yang dipimpinnya, agar mau melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela dan penuh semangat; (c) kepemimpinan adalah proses mengarahkan dari mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok; (d) kepemimpinan adalah tindakan atau tingkah laku individu dan kelompok yang menyebabkan individu dan juga kelompok-kelompok itu untuk bergerak maju, guna mencapai tujuan pendidikan yang semakin bisa diterima oleh masing-masing pihak, dan (e) kepemimpinan adalah proses pemimpin menciptakan visi, mempengaruhi sikap, perilaku, pendapat, nilai-nilai, norma & sebagainya dari pengikut untuk mereaksi visi.
Dari uraian diatas telah dikemukakan beberapa defenisi tentang kepemimpinan, dan tentunya masih banyak defenisi kepemimpinan yang bisa ditemukan lagi. Stogdill (1974: 7) mengklasifikasikan defenisi kepemimpinan sebagai (1) fokus proses-proses kelompok; (2) suatu kepribadian; (3) seni mempengaruhi orang lain; (4) penggunaan pengaruh; (5) tindakan atau tingkah laku; (6) bentuk persuasi; (7) hubungan kekuasaan; (8) alat mencapai tujuan; (9) akibat interaksi; (10) perbedaan peran dan (11) inisiasi struktur.
Disini kita dapat melihat bahwa proses pengangkatan kepala sekolah kinerja sangat berperan penting  untuk bisa memejerial sekolah sesuai dengan pengalaman kinerja yang telah dilaluinya dengan baik dan juga telah memenuhi syarat untuk seseorang diangkat menjadi seorang pemimpin dalam hal ini sebagai pemimpin kepala sekolah. Sedangkan proses pengangkatan kepala sekolah melalui jalur pendidikan merupakan proses pengangkatan kepala sekolah dengan melihat Permendiknas No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah (Pasal 7 Ayat 2)tingkat pendidikan seseorang hal initerlihat dalam Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan dalam kegiatan tatap muka dalam kurun waktu minimal 100 (seratus) jam dan praktik pengalaman lapangan dalam kurun waktu minimal selama 3 (tiga) bulan.  Sebelum lahirnya Permendiknas no 28 tahun 2010 ini, telah ada Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 0296/U/1996, tanggal 1 Oktober 1996 tentang Penugasan Guru Pegawai Negeri Sipil sebagai Kepala Sekolah di lingkungan Depdikbud dan disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor : 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah telah mengarah pasa sistim pembinaan di atas. Ada dua aspek penting dalam kedua Kepmen tersebut yang sejalan dengan permendiknas no.28 tahun 2010 yaitu : Kepala Sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah dan masa jabatan Kepala Sekolah selama 4 (empat) tahun serta dapat diperpanjang kembali selama satu masa tugas berikutnya bagi kepala sekolah yang berprestasi sangat baik. Status Kepala Sekolah adalah guru dan tetap harus menjalankan tugas-tugas guru, mengajar dalam kelas minimal 6 jam dalam satu minggu di samping menjalankan tugas sebagai seorang manajer sekolah. Begitu juga ketika masa tugas tambahan berakhir maka statusnya kembali menjadi guru murni dan kembali mengajar di sekolah. Pada tataran praktis implementasi kedua Kepmen tersebut tidak berjalan mulus. Banyak daerah yang tidak memperdulikannya. Kepmen 0296/U/1996 yang berlaku saat pengelolaan pendidikan dilaksanakan secara terpusat disiasati dengan memutihkan masa jabatan kepala sekolah setiap terjadi rotasi. Kepala Sekolah yang hampir habis masa jabatannya dirotasi dan masa jabatannya kembali ke nol tahun. Nasib Kepmen 162/U/2003 tidak jauh berbeda walaupun relatif lebih baik. Beberapa daerah sudah mulai melaksanakan Kepmen tersebut. Namun masih banyak yang belum merealisasikan permen tersebut karena benturan kepentingan dan sulitnya merubah kultur.Namun pada permendiknas no 28 tahun 2010 yaang akan diberlakukan tahun 2013 yang akan datang masa jabatan diperhitungkan secara komulatif sejak kepala sekolah tersebut diangkat dan tidak kembali nol walaupun sudah mutasi ke sekolah lain sebagai kepala sekolah. Periodisasi masa jabatan Kepala sekolah yang dilaksanakan secara konsisten dengan penilaian kinerja yang akuntabel serta transfaran akan mendorong peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah. Kepala Sekolah akan bekerja keras untuk meningkatkan prestasi sekolahnya sebagai bukti prestasi kinerjanya, sehingga masa jabatannya bisa diperpanjang atau mendapat promosi jabatan yang lebih tinggi. Prestasi yang diraih sekolah-sekolah akan meningkatkan mutu pendidikan di daerah dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Keberhasilan pelaksanaan periodisasi masa jabatan kepala sekolah sangat tergantung pada akuntabilitas penilaian kinerja kepala sekolah. Penilaian yang berbau KKN tidak akan memberikan perubahan yang berarti bagi peningkatan mutu pendidikan. Penilaian harus dilakukan secara objektif, transfaran

b.        Pengangkatan kepala sekolah yang ditempuh dengan jalur pendidikan
Permendiknas No. 28 Tahun 2010  Persyaratan khusus guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah yaitu memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai dengan pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan Direktur Jenderal. (Pasal 2 Ayat 3 point b). Penyiapan calon kepala sekolah/madrasah meliputi rekrutmen serta  pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah. (Pasal 3 Ayat 1)Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan dalam kegiatan tatap muka dalam kurun waktu minimal 100 (seratus) jam dan praktik pengalaman lapangan dalam kurun waktu minimal selama 3 (tiga) bulan. (Pasal 7 Ayat 2). Dalam pandangan manajemen, sertifikat bisa dianggap sebagai bukti formal atas kelayakan dan kewenangan  seseorang untuk memangku jabatan tertentu. Belakangan ini (terutama setelah diberlakukannya Otonomi Daerah), kerapkali ditemukan kasus rekrutmen kepala sekolah  tanpa disertai Sertifikat Kepala Sekolah, dan kegiatan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah. Jika seorang guru direkrut menjadi kepala sekolah tanpa sertifikat dan diklat alias melalui proses  sim salabim seperti dalam atraksi sulap, barangkali tidak salah jika ada sebagian orang yang mempertanyakan akan kewenangan dan kelayakan yang bersangkutan. Dengan adanya ketentuan ini,  maka ke depannya diharapkan tidak terjadi lagi kasus-kasus seperti  ini sehingga  sekolah benar-benar  dapat dipimpin oleh orang yang layak dan teruji. Dari pernyataan diatas dapat kita simpulkan bahwa seseorang dianggap layak untk menjadi sesorang kepala sekolah haruslah menempuh jalur pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan jalur kepemimpinan.  Sekolah berada di titik sentral kehidupan masyarakat, maka Kepala Sekolah berada di titik yang paling sentral dari kehidupan sekolah. Keberhasilan atau kegagalan suatu sekolah dalam menampilkan kinerjanya secara memuaskan banyak tergantung pada kualitas kepemimpinan Kepala Sekolah. Sejauh manakah kepala sekolah mampu menampilkan kepemimpinan yang baik berpengaruh langsung tehadap kinerja sekolah. Kinerja sekolah ditunjukkan oleh; 1). Iklim kehidupan sekolah, 2). Etos belajar, 3). Semangat kerja guru, 4. Prestasi belajar siswa dan 5). Disiplin sekolah secara keseluruhan (Dedi Supriadi,1998;346). C.E Beeby (1981) dalam bukunya “Pendidikan di Indonesia” menguraikan tentang masih rendahnya kemampuan Kepala Sekolah baik di Sekolah Dasar maupun di Sekolah Lanjutan, meski diakui Kepala Sekolah Lanjutan lebih tinggi kualitasnya karena umumnya berkualifikasi Sarjana, namun tetap saja Kinerja/Kepemimpinan Kepala Sekolah masih dianggap gagal dimana “sebab utama dari kegagalan dalam kepemimpinan para Kepala Sekolah ini terletak pada organisasi intern Sekolah lanjutan itu sendiri”. Sementara Sherry Keith dan Robert H. Girling (1991) mengutip laporan Coleman Report menyebutkan bahwa dalam penelitian efektifitas sekolah 32% prestasi siswa dipengaruhi kualitas manajemen sekolah. Ini berarti bahwa kinerja kepala sekolah dalam manajemen pendidikan akan juga berdampak pada prestasi siswa yang terlibat di dalam sekolah tersebut. Dalam aspek kompetensi supervisi dipersyaratkan seorang kepala sekolah harus bisa merencanakan, melaksanakan, dan menindaklanjuti program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesio­nalis­me guru. Adapun kompetensi sosial mengharuskan kepala sekolah bisa bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah, berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, dan  memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain.


c.       Kemukakan kekuatan dan kelemahan jalur – jalur tersebut
Kekuatan jalur karier
Seseorang yang mempunyai kinerja yang sudah lama telah mempunyai pengalaman dalam hal proses pembelajaran disekolah maupun disekolah. Untuk membangun sekolah efektif menurut N. Hatton dan D. Smith (1992) dalam tulisannya Perspective on Effective school perlu kepemimpinan instruksional yang kuat, perhatian yang jelas pada hasil belajar, penghargaan murid yang tinggi, lingkungan yang baik serta pengawasan tingkat prestasi, semua ini akan terwujud apabila seluruh unsur yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah berjalan optimal sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Dibutuhkan iklim sekolah yang baik untuk menjadikan sekolah sebagai sekolah efektif. Menurut Paula F. Silver (1983) iklim sekolah dibentuk oleh hubungan timbal balik antara perilaku Kepala Sekolah dan perilaku guru sebagai suatu kelompok. Perilaku Kepala Sekolah dapat mempengaruhi interaksi interpersonal para guru. Dengan demikian dinamika kepemimpinan Kepala Sekolah dengan kelompok (guru dan staf) dipandang sebagai kunci untuk memahami variasi iklim sekolah. Interaksi antara guru dan kepala sekolah akan menentukan iklim sekolah yang bagaimana yang akan terwujud, iklim sekolah yang baik dan kondusif bagi kegiatan pendidikan akan menghasilkan interaksi edukatif yang efektif, meningkatkan motivasi kerja guru dan staf yang pada akhirnya meningkatkan kinerja guru dan staf, sehingga upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah akan berjalan dengan baik, dan keadaan sebaliknya akan terjadi jika iklim sekolah tidak kondusif. Robert Stinger (2002) menyebutkan perilaku pemimpin mempengaruhi iklim organisasi yang kemudian mendorong motivasi kerja karyawan. Motivasi merupakan pendorong utama terjadinya peningkatan kinerja. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan; adapun  Kelemahan jalur karier Pengangkatan kepala sekolah yang menjadi kewenangan daerah sering kali mengabaikan Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Padahal, payung hukum ini menetapkan standar dalam menyiapkan, menilai kinerja, serta mengembangkan keprofesian kepala sekolah/madrasah. Pengangkatan kepala sekolah lebih didasarkan pada kepentingan politik pemilihan umum kepala daerah. Akibatnya, kompetensi kepala sekolah secara umum di bawah rata-rata. Kepala sekolah yang punya sertifikat pendidik dan kepala sekolah serta ikut pendidikan dan pelatihan kepala sekolah dapat mempengaruhi kinerja dalam melaksanakan yang telah menjadi kewenangannya. Keberhasilan pelaksanaan periodisasi masa jabatan kepala sekolah sangat tergantung pada akuntabilitas penilaian kinerja kepala sekolah. Penilaian yang berbau KKN tidak akan memberikan perubahan yang berarti bagi peningkatan mutu pendidikan. Penilaian harus dilakukan secara objektif, transfaran.
Kekuatan jalur pendidikan
Untuk melahirkan seorang kepala sekolah yang profesional dibutuhkan sistem yang kondusif, baik rekrutmen maupun pembinaan. Dari proses rekrutmen yang sarat KKN mustahil dilahirkan seorang kepala sekolah yang profesional. Dibutuhkan sistem rekrutmen yang berfokus pada kualitas dan pembinaan yang berorientasi pada kinerja dan prestasi dengan ”reward & punishment” yang tegas dan konsekuen untuk melahirkan seorang kepala sekolah yang tangguh. Pengadaan kepala sekolah merupakan proses mendapatkan calon kepala sekolah yang paling memenuhi kualifikasi dalam rangka mengisi formasi kepala sekolah dalam satuan pendidikan tertentu. Rangkaian kegiatan pengadaan kepala sekolah terdiri dari : penetapan formasi, rekrutmen calon, seleksi calon dan pengangkatan calon yang paling memenuhi kualifikasi. Tahap rekrutmen dan seleksi merupakan tahap yang paling krusial, yang jika terjadi salah langkah pada tahap ini bisa berakibat fatal bagi sekolah yang mendapat kepala sekolah yang kurang kompeten. Tidak sedikit sekolah yang sebenarnya memiliki potensi besar karena siswa yang masuk merupakan siswa berprestasi tapi tidak berkembang, stagnan, bahkan mengalami kemunduran akibat kepala sekolah yang tidak kompeten.  Sedangkan kelemahan jalur pendidikan dengan tidak adanya diklat calon kepala sekolah dilaksanakan oleh lembaga diklat terakreditasi yang merupakan kegiatan pemberian pengalaman pembelajaran teorik maupun praktik yang bertujuan untuk menumbuh kembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan pada dimensi : Kompetensi kepribadian, Kompetensi menejerial, Kompetensi Kewirausahaan, Kompetensi supervisi dan, Kompetensi soasial akan sangat bepengaruh terhadap kinerja kepala sekolah dalam menjalankan tugasnya.
d.      Bagaimana penerapannya pada sekolah :
-          Berskala regional
di Indonesia seiring dengan lahirnya Permendiknas No.28 thun 2010 sudah terbentuk Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS). LPPKS yang mempunyai Tupoksi menyiapkan pengembangan dan pemberdayaan kepala sekolah mempunyai kewajiban untuk mesosialisasikan Prog Penyiapan calon Kepsek di kab/kota seluruh Indonesia dengan harapan :
a.       Tercipta pemahaman yang sama pada semua lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan diklat calon kepala sekolah/madrasah;
b.      Pemahaman yang sama dalam penyelenggaraan diklat akan menghasilkan proses yang terstandar; dan
c.       Proses diklat calon kepala sekolah/madrasah yang terstandar akan menghasilkan calon-calon kepala sekolah yang betul-betul berpotensi dan kompeten
Sementara Permen Diknas no. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah mensyaratkan untuk menjadi kepala sekolah profesional harus kompeten dalam menyusun perencanaan pengembangan sekolah secara sistemik; kompeten dalam mengkoordinasikan semua komponen sistem sehingga secara terpadu dapat membentuk sekolah sebagai organisasi pembelajar yang efektif; kompeten dalam mengerahkan seluruh personil sekolah sehingga mereka secara tulus bekerja keras demi pencapaian tujuan institusional sekolah, kompeten dalam pembinaan kemampuan profesional guru sehingga mereka semakin terampil dalam mengelola proses pembelajaran; dan kompeten dalam melakukan monitoring dan evaluasi sehingga tidak satu komponen sistem sekolah pun tidak berfungsi secara optimal, sebab begitu ada satu saja diantara seluruh komponen sistem sekolah yang tidak berfungsi secara optimal akan mengganggu pelaksanaan fungsi komponen-komponen lainnya. Kompleksitas sekolah sebagai satuan sistem pendidikan menuntut adanya seorang kepala sekolah yang memiliki kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, sipervisi dan sosial. Robert Stinger (2002) menyebutkan perilaku pemimpin mempengaruhi iklim organisasi yang kemudian mendorong motivasi kerja karyawan. Motivasi merupakan pendorong utama terjadinya peningkatan kinerja. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
-          Berskala internasional
Di negara-negara maju masalah kepala sekolah ditangani oleh lembaga tersendiri yang khusus melatih kemampuan kepala sekolah dan mempersiapkan calon kepala sekolah. Di Singapura ada lembaga ”Leadership School” khusus untuk melatih kepala sekolah dan mempersiapkan calon-calon kepala sekolah. Lembaga ini sudah go internasional. Begitu juga di Malasyia, Korea Selatan, Australia dan negara-negara Eropa memiliki lembaga sejenis.


2.      Dapatkah guru dikatakan pemimpin formal dan informal pendidikan
a.      Penjelasan dengan dukungan teori atau berupa kebijakan
Ketentuan UU SPN Nomor 20 Tahun 2003 pada Bab V1 pasal 13 ayat 1 disebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Keduanya memiliki perbedaan yang saling mengisi dan melengkapi. Seperti sudah dijelaskan bahwa jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Karenanya pemerintah mengundangkan jalur pendidikan. Pemerintah mengagas jalur pendidikan ini dikarenakan sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dimana yang menjadi peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu, tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan dan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Berkaitan  dengan  pengertian  pendidikan  terdapat  perbedaan  yang  jelas  antara pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Sehubungan dengan hal  ini  Coombs  (1973) membedakan  pengertian  ketiga  jenis  pendidikan  itu  sebagai berikut: Pendidikan  formal  adalah  kegiatan  yang  sistematis,  bertingkat/berjenjang, dimulai dari  sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya;   termasuk   kedalamnya   ialah   kegiatan   studi   yang   berorientasi akademis  dan  umum,  program   spesialisasi,  dan  latihan  professional,  yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga sehingga setiap  orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang  bersumber  dari   pengalaman  hidup  sehari-hari,  pengaruh  lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh  kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media massa. Pendidikan nonformal ialah setiap kegiatan teroganisasi dan sistematis, di luar sistem  persekolahan yang , dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan  yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mancapai tujuan belajarnya.
Ketiga   pengertian   di   atas   dapat   digunakan   untuk   membedakan   program pendidikan  yang termasuk  ke dalam  setiap  jalur pendidikan  tersebut.  Sebagai  bahan untuk menganalisis berbagai program pendidikan maka ketiga batasan pendidikan di atas perlu diperjelas lagi dengan kriteria yang  dapat membedakan antara pendidikan yang program-programnya bersifat nonformal dengan pendidikan  yang program-programnya bersifat informal dan formal. Perbedaan antara pendidikan yang  program-programnya bersifat nonformal dan informal dapat dikemukakan sebagai berikut. Pendidikan  yang program-programnya bersifat nonformal memiliki tujuan dan kegiatan yang terorganisasi, diselenggarakan  di  lingkungan  masyarakat  dan  lembaga-lembaga,  untuk  melayani kebutuhan  belajar  khusus  para  peserta  didik.  Sedangkan  pendidikan  yang  program- programnya   bersifat  informal tidak diarahkan untuk melayani kebutuhan belajar yang terorganisasi.   Kegiatan   pendidikan   ini   lebih   umum,   berjalan   dengan   sendirinya, berlangsung terutama dalam lingkungan keluarga,  serta  melalui media massa, tempat bermain, dan lain sebagainya. Apabila kegiatan yang termasuk pendidikan yang program-programnya bersifat informal ini  diarahkan untuk mencapai tujuan belajar tertentu maka kegiatan tersebut dikategorikan baik ke dalam  pendidikan yang program-programnya bersifat nonformal maupun pendidikan yang program-programnya bersifat formal. Kleis  (1974) memberi  batasan  umum  bahwa  pendidikan  adalah  sejumlah pengalaman   yang  dengan  pengalaman  itu,  seseorang  atau  kelompok  orang  dapat memahami sesuatu yang sebelumnya tidak mereka pahami Pengalaman itu terjadi karena adanya interaksi  antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan proses perubahan (belajar) pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu menghasilkan perkembangan (development) bagi kehidupan seseorang atau kelompok dalam lingkungannya. Proses belajar itu akan menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif (penalaran,penafsiran,  pemahamandan   penerapan    informasi),    peningkatan    kompetensi (keterampilan  intelektual  dan  sosial),  serta  pemilihan  dan  penerimaan  secara  sadar terhadap  nilai,  sikap, penghargaan  dan perasaan, serta kemauan untuk berbuat  atau merespon sesuatu rangsangan. Proses perubahan (belajar) dapat terjadi dengan disengaja atau tidak disengaja. Pandangan  lain  tentang  pendidikan  dikemukakan  oleh  Axiin  (1974),  yang membuat penggolongan program-program kegiatan yang termasuk ke dalam pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan menggunakan kriteria adanya atau tidak adanya kesengajaan dari kedua pihak yang berkomunikasi, yaitu pihak pendidik (sumber belajar atau fasilitator) dan pihak peserta didik (siswa atau warga belajar). Pandangan pendidikan yang dikemukakan oleh Axinn ini tertuang dalam bentuk tabel:
PENDIDIKPESERTA DIDIK
BERSENGAJA
TIDAK BERSENGAJA
BERSENGAJA
Pendidikan sekolah atauPendidikan luar sekolah
Kegiatan belajardiarahkan diri sendiri
(self-directed learning)
TIDAK BERSENGAJA
Pendidikan informal
Belajar secara kebetulan(incidental learning)
Melalui tabel di atas dapat kita ketahui bahwa dengan adanya kesengajaan dari kedua pihak  dalam proses pembelajaran merupakan ciri utama pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah dan pendidikan sekolah mempunyai ciri umum yang sama, yaitu adanya kegiatan yang disengaja dan terorganisasi. Dan keduanya merupakan subsistem dari pendidikan nasional. Dengan membandingkan karakteristik pendidikan sekolah terhadap karakteristik pendidikan luar  sekolah (Ryan, 1972:11), sebagai ilustrasi, di satu pihak, pendidikan sekolah memiliki program berurutan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan dan dapat diterapkn secara seragam di semua tempat  yang memiliki kondisi sama. Di pihak lain, pendidikan   luar   sekolah   mempunyai   program   yang    tidak   selalu  ketat   dalam  programnya. Program   pendidikan sekolah  memiliki  tingkat  keseragaman yang ketat, sedangkan program pendidikan luar sekolah lebih bervariasi dan lebih luwes.
b.      Uraikan keterkaitan antara pemimpin formal dan informal
Dalam GBHN TAP MPR (Garis Besar Haluan Negara Ketetapan MPR) dinyatakan: “Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan ialah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.” Hal ini berarti setiap manusia Indonesia diharapkan supaya selalu berkembang sepanjang hidup dan di lain pihak masyarakat dan pemerintah diharapkan agar dapat menciptakan situasi yang menantang untuk belajar. Prinsip ini berarti masa sekolah bukanlah satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar melainkan hanya sebagian dari waktu belajar yang akan berlangsung seumur hidup.Konsep pendidikan seumur hidup merumuskan suatu asas bahwa pendidikan adalah suatu proses yang terus menerus (continue) dari bayi sampai meninggal dunia. Konsep ini sesuai dengan konsep Islam seperti yang dicantumkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan belajar dari buaian hingga liang lahad (pintu kubur).Sebenarnya ide pendidikan seumur hidup telah lama dalam sejarah pendidikan, tetapi baru populer sejak terbitnya buku Paul Langerend “An Introduction to Life Long Education” (sesudah Perang Dunia II) kemudian diambil alih oleh Internaional Comission on The Development of Education (UNESCO).
Istilah pendidikan seumur hidup (long life integrated education) tidak dapat diganti dengan istilah-istilah lain sebab isi dan luasnya (scope-nya) tidak persis sama seperti istilah out of school education, continuing education, adult education, further education, rewirent education.
Lingkungan Pendidikan Formal
1. Pengertian Lingkungan Pendidikan Formal
Lingkungan pendidikan formal menurut Dinn Wahyudin (2007 : 3.9) adalah suatu satuan (unit) sosial atau lembaga sosial yang secara sengaja dibangun dengan kekhususan tugasnya untuk melaksanakan proses pendidikan. Dalam Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab I Pasal 11 dijelaskan bahwasannya pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstuktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
2. Bentuk Pendidikan Formal
Pada jalur pendidikan formal pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah serta Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jenjang pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas , Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan dan Madrasah Aliyah Kejuruan. Sedangkan pendidikan tinggi berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
3. Tujuan Pendidikan Formal
Pendidikan formal atau sekolah mempunyai tujuan pendidikan sesuai dengan jenjang bentuk dan jenisnya. Tujuan sekolah dapat ditemukan pada kurikulum sekolah yang bersangkutan. Tujuan sekolah umumnya adalah memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik dalam mengembangkan kehidupannya (Wahyudin, 2007 : 3.9)
4. Karakteristik Pendidikan Formal
Adapun karakteristik pendidikan formal antara lain (a) lebih menekankan pengembangan intelektual; (b) peserta didik bersifat homogen; (c) isi pendidikan terprogram secara formal/kurikulumnya tertulis; (d) terstruktur, berjenjang dan bersinambungan; (e) waktu pendidikan terjadwal dan relatif lama; (f) cara pelaksanaan pendidikan bersifat formal dan artificial; (g) evaluasi pendidikan dilaksanakan secara sistematis; (h) credential harus ada dan penting (Wahyudin, 2007 : 3.11)
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan perguruan tinggi. Pendidikan formal terdiri dari pendidikan formal negeri dan pendidikan formal berstatus swasta. Adapun tujuan dari diselenggarakannya pendidikan formal adalah sebagai berikut:
a.       Membantu lingkungan keluarga untuk mendidik dan mengajar, memperbaiki, memperluas pengetahuan, dan tingkah laku peserta didik yang dibawa dari keluarga serta membantu pengembangan bakat.
b.      Mengembangkan keperibadian peserta didik lewat kurikulum agar;
-          Peserta didik dapat bergaul dengan lingkungan sekolahnya.
-          Mempersiapkan peserta didik terjun di masyarakat berdasarkan norma yang berlaku.
c.       Membentuk dasar atau pondasi cara- cara/pola berpikir yang sistematis dan konseptual secara konsisten dan terarah.
d.      Melatih dan menanamkan sikap mental dan emosional yang matang, dewasa dan mandiri. Sehingga biasanya seorang yang berpendidikan tinggi lebih dapat mengendalikan sikap dan emosinya secara baik.
e.       Mengajarkan banyak disiplin ilmu dengan berbagai teori-teori dan ilmu pengetahuan yang ada sehingga wawasan dan pengetahuan menjadi banyak dan luas.
f.       Menanamkan disiplin belajar yang sangat tinggi, sehingga seseorang yang berpendidikan akan lebih terbiasa untuk belajar dan belajar lagi.

Lingkungan Pendidikan Informal
1.      Pengertian Lingkungan Pendidikan Informal
Menurut Undang Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab 1 Pasal 13, Pendidkan Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pelaksanaan pendidikan berlangsung tidak dengan cara-cara artificial, melainkan secara alamiah atau berlangsung secara wajar, oleh sebab itu pendidikan dalam keluarga disebut pendidikan informal.
2.      Bentuk Pendidikan Non Formal
Bentuk pendidikan informal adalah keluarga. Bentuk keluarga berdasarkan keanggotaannya, menurut Kamanto Sunarto (Wahyudin, 2007 : 3.11) dibedakan menjadi keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Keluarga batih adalah keluarga terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri atas beberapa keluarga batih.
3.      Tujuan Pendidikan Informal
Sekalipun tidak ada tujuan pendidikan dalam keluarga yang dirumuskan secara tersurat, tetapi secara tersirat dipahami bahwa tujuan pendidikan dalam keluarga pada umumnya adalah agar anak menjadi pribadi yang mantap, beragama, bermoral, dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Fungsi pendidikan dalam keluarga menurut Wahyudin (2007 : 3.7) adalah (a) sebagai peletak dasar pendidikan anak, dan (b) sebagai persiapan ke arah kehidupan anak dalam masyarakatnya.
4.      Karakteristik Pendidikan Informal
Karakteristik pendidikan informal antara lain :
(a) tujuan pendidikan lebih menekankan pada pengembangan karakter; (b) peserta didiknya bersifat heterogen; (c) isi pendidikan tidak terprogram secara formal; (d) tidak berjenjang; (e) waktu pendidikan tidak terjadwal ketat, relatif lama; (f) cara pelaksanaan pendidikan bersifat wajar (g) evaluasi pendidikan tidak sistematis dan incidental; (h) credential tidak ada dan tidak penting (Wahyudin, 2007 : 3.6)
                        Dari pengertian dan beberapa pendapat diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa keterkaitan antara pendidikan formal dan pendidikan informal sangatlah erat karna keberhasilan peserta didik tidak hanya ditunjang dari pendidikan formal tetapi juga pendidikan informal di lingkungan keluarga berperan pada perkembangan anak didik.

c.       Uraikan faktor – faktor yang mendukung sehingga guru dapat menjadi pemimpin yang ideal dibidang  pendidikan
Jabatan kepala sekolah diduduki oleh orang yang menyandang profesi guru. Karena itu, ia harus profesional sebagai guru sekaligus sebagai kepala sekolah dengan derajat profesionalitas tertentu. Kepala sekolah memiliki fungsi yang berdimensi luas. Kepala sekolah dapat memrankan banyak fungsi, yang orangnya sama, tetapi topinya berbeda (Danim dan Chairil, 2010:79). Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan jabatan kepala sekolah itu harus profesional sebagai guru ataupun kepala sekolah. Di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional (yang sekarang berganti nama menjadi Kementerian Pendidikan Nasional, Kemendiknas) telah cukup lama dikembangkan paradigma baru administrasi atau manajemen pendidikan, dimana kepala sekolah minimal harus mampu berfungsi sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator, disingkat EMASLIM. Jika merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, kepala sekolah juga harus berjiwa entrepreneur. Atas dasar itu, dalam kerangka menjalankan fungsinya, kepala sekolah harus memrankan diri dalam tatanan perilaku yang disingkat EMASLIM, sebagai singkatan dari education, manager, administrator, supervisor, leader, inovator, motivator, dan entrepreneur.
Jika Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, dan Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain sesuai kekhususannya, maka setiap Pendidik memang merupakan Tenaga Kependidikan, tetapi setiap Tenaga Kependidikan belum tentu seorang Pendidik / Guru. Kasubdit Pendidikan Menengah Ditjen PMPTK Depdiknas dalam suatu Seminar Nasional tentang Kepala Sekolah mengungkapkan pula tentang Kebijakan Direktorat Tenaga Kependidikan masa sekarang ini bahwa Tenaga Kependidikan itu meliputi Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, Pustakawan, Laboran, dan Tenaga Tata Laksana / Administrasi Sekolah.
Berarti seorang Kepala Sekolah walaupun dipersyaratkan harus berasal dari seorang guru namun setelah diangkat sebagai kepala sekolah maka yang bersangkutan sebaiknya tidak lagi berstatus Guru / Pendidik melainkan sebagai Tenaga Kependidikan / Kepala Sekolah Profesional dengan tugas dan fungsi yang sudah jelas memerlukan perhatian khusus layaknya profesi kependidikan lain seperti Pengawas Sekolah, Laboran, dan Pustakawan. Dalam beberapa kesempatan kegiatanpun saat ini seringkali seorang kepala sekolah tidak diperkenankan mengikuti kegiatan yang diperuntukkan bagi guru.
Memperhatikan pasal-pasal pada Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 ternyata para Calon Kepala Sekolah dan Kepala Sekolah dihadapkan pada penafsiran ganda. Artinya kualifikasi dan kompetensi tersebut bisa diartikan sebagai syarat memasuki wilayah profesi kepala sekolah. Setelah yang bersangkutan diangkat sebagai kepala sekolah maka statusnya sebagai pendidik / guru menjadi lepas. Namun bisa pula ditafsirkan sebagai memperkuat status lama yakni "hanya" seorang guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Jika itu yang terjadi maka sebelah kakinya masih menginjakkan ke wilayah profesi guru, sebelah lagi menginjak profesi kepala sekolah.
Disisi lain penetapan Standar Kepala Sekolah ini memang sangat positif dimasa keterbukaan dengan akuntabilitas publik yang semakin baik sekarang ini. Permen ini tentu tidak berdiri sendiri sebagai satu piranti hukum dalam mengatur dan upaya meningkatkan mutu Standar Pendidikan Nasional kita. Ditjen PMPTK telah menyusun suatu pedoman tentang Pengembangan Mutu Kepala Sekolah untuk kedua jalur yakni dari rekruitment calon kepala sekolah dan jalur peningkatan mutu kepala sekolah yang sudah dan sedang menjabat.
 Untuk bisa diangkat sebagai Kepala Sekolah seorang guru yang lulus seleksi harus mengikuti Sertifikasi melalui Diklat Cakep 900 jam yang diakhiri dengan Uji Kompetensi. Jika dinyatakan lulus sebagai Cakeppun masih harus melalui Uji Publik di hadapan beberapa unsur stake-holders dimana sekolah itu berada. Jika uji publik (semacam pemaparan visi dan misi lengkap dengan beberapa perencanaan) ini dapat dilalui barulah yang bersangkutan dapat diangkat dan ditempatkan di suatu sekolah sebagai kepala sekolah definitif. Sedangkan bagi kepala sekolah yang sedang menjabat, prosesi peningkatan mutu dilakukan dengan Uji Kompetensi
Berkenaan dengan Standar Kompetensi, seseorang dapat diangkat sebagai Kepala Sekolah jika dia memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut :
a.       Kompetensi kepribadian;
b.      Kompetensi Manajerial;
c.       Kompetensi Kewirausahaan;
d.      Kompetensi Supervisi;
e.       Kompetensi Sosial.
Guru dapat diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah untuk memimpin dan mengelola pendidikan di sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Regulasi penugasan guru sebagai kepala sekolah diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan Indonesia nomor : 162/U/2003 tanggal 24 Oktober 2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 bahwa: “Kepala sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana”.
Guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah apabila memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus
Persyaratan umum meliputi :
1.      beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa
2.      usia setinggi-tingginya 56 tahun
3.      sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter
4.      tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku
5.      aktif mengajar dan/atau membimbing skurang-kurangnya 5 tahun pada sekolah yang setingkat dan sejenis dengan sekolah yang akan menjadi tempat bertugas
6.      DP3 serendah-rendahnya memperoleh nilai amat baik untuk unsur kesetiaan dan nilai baik untuk unsur penilaian lainnya dalam 2 (dua) tahun terakhir

Persyaratan Khusus
1.      calon kepala TK, berijazah serendah-rendahnya Diploma II PGTK atau yang sederajat dan telah memiliki jabatan Guru Muda
2.      calon kepala SD, berijazah serendah-rendahnya diploma II PGSD atau yang sederajat dan telah memiliki jabatan Guru Muda Tk.I
3.      calon kepala SDLB, berijazah serendah-rendahnya Diploma III Pendidikan Luar Biasa (PLB)/Sarjana Muda PLB (pendidikan khusus) dan memiliki jabatan Guru Muda Tk.I
4.      calon kepala SLTP, berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1) dan memiliki jabatan Guru madya
5.      calon kepala SMU, berijazah serendah-rendahnya Sarjana(S1) dan memiliki jabatan Guru Dewasa
6.      calon kepala SMk :
a.       berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1) dan memiliki jabatan Guru Dewas
b.      memiliki pengetahuan tentang hubungan kerja dan kerjasama dengan dunia usaha atau dunia industri
c.       memiliki wawasan tentang unit produksi
7.      calon kepala SLB berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1) dan memiliki jabatan Guru Dewasa
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di atas calon kepala SMU,SMK, dan SLB diutamakan bagi mereka yang dapat berkomunikasi dalam Bahasa Inggris dan atau Bahasa Asing lainnya.