Selasa, 25 Desember 2012

UAS TEORI SOSIAL


UJIAN AKHIR SEMESTER
TEORI-TEORI SOSIAL PENDIDIKAN IPS
PASCA SARJANA UNHALU 12  DESEMBER 2012 KELAS IPS.D

I.                   Masalah etnisitas, nasionalitas dan integrasi bangsa dalam kajian masyarakat bangsa Indonesia analisisnya akan mencakup juga wawasan dan gagasan multikulturalisme. Maka, kajiannya akan memakai pendekatan transdisiplin, dan “conceptualized comparative approach “ dan agar tuntas dalam aspek pendidikannya harus sampai mencapai “experiential learning”.
1.      Cobalah anda jelaskan bagaimana anda memanfaatkan pendekatan Transdisiplin dan “Conceptualized comparative approach”  dalam kajian anda pada waktu diskusi membahas perkuliahan !
2.      Mengapa diperlukan sekolah dan kelas yang heterogen untuk mengkaji masalah-masalah social etnisitas, nasionalitas, dan integritas dengan wawasan multikulturalisme? Jelaskan teori-teori yang menjelaskan topic-topik tersebut di atas. Uraikan jawaban anda !
II.                Masyarakat surat kabar, buku bacaan (pustaka) dan ilmu-ilmu social merupakan sumber materi pembelajaran pendidikan IPS. Atas konsep tersebut, cobalah anda bahas persoalan berikut ini
1.      Mohon anda analisis bahwa pembelajaran IPS tidak akan kekurangan materi pembahasan, hanya sangat bergantung kepada peranan dan factor gurunya
2.      Konsep-konsep dasar dan tentang social studies yang melekat pada konsep citizenship transmission model. Jelas konsep-konsep dasar dari social studies alam kaitannya dengan citizenship transmission.
3.      Pembelajaran IPS yang diproses sesuai denga hakikatnya, mampu meningkatkan kualitas keterampilan social (social skill) dan kecerdasan social (social intelligence) peserta didik. Atas dasar asumsi tersebut, cobalah anda bahas strategi proses pembelajaran IPS untuk mengembangkan social skill dan social intelligences peserta didik melalui pembelajaran IPS.



Jawaban

I.       Masalah etnisitas, nasionalitas dan integrasi bangsa dalam kajian masyarakat bangsa Indonesia analisisnya akan mencakup juga wawasan dan gagasan multikulturalisme. Maka, kajiannya akan memakai pendekatan transdisiplin, dan “conceptualized comparative approach “ dan agar tuntas dalam aspek pendidikannya harus sampai mencapai “experiential learning”.
1.      Memanfaatkan pendekatan Transdisiplin dan “Conceptualized comparative approach”  dalam kajian anda pada waktu diskusi membahas perkuliahan
Perkembangan teknologi dan peradaban dunia yang pesat berbanding lurus dengan kerumitan masalah yang ditimbulkannya. Masalah yang dihadapi dunia saat ini adalah masalah global yang memerlukan penanganan yang berbeda dengan yang telah dilakukan sebelumnya. Masalah-masalah yang dihadapi dunia saat ini merupakan masalah yang bersifat multi sektoral dan memiliki kaitan satu sama lain.
Masalah yang kompleks tersebut tidak lagi dapat diatasi hanya dengan menggunakan satu disiplin atau pendekatan saja. Kita sebagai warga dunia, sebagaimana yang dianjurkan oleh UNESCO, perlu berperan serta secara aktif dalam mencari solusi yang terbaik dalam menghadapi masalah global yang ada saat ini. Kita perlu mencari pendekatan baru yang lebih baik untuk mengatasi masalah global yang bersifat multi sektoral. UNESCO sebagai organisasi dunia yang bersifat multisektoral, mencetuskan penggunaan pendekatan transdisiplin untuk menghadapi masalah dunia yang kita hadapi saat ini. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang bersifat monodisiplin. Pendekatan dengan memanfaatkan disiplin tunggal atau monodisiplin tidak lagi dapat memberikan kontribusi yang optimal terhadap upaya-upaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah yang bersifat global dan menjadi semakin rumit.
Seperti diketahui Pendekatan transdisiplin dapat dipandang sebagai ruang intelektual atau “intellectual space” yang merupakan wilayah tempat isu-isu yang dibahas saling dikaitkan, dieksplorasi, dan dibuka untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik. Dalam ruang intelektual isu-isu dibahas dan juga dipikir ulang (rethinking) serta dianalisis untuk dapat diimplementasikan. Transdisiplin mempunyai kesamaan makna dengan transektoralitas yang juga memerlukan kajian. Tujuan dari pendekatan trandisiplin adalah untuk membangun pandangan-pandangan yang diperlukan untuk mengeksplorasi makna baru dan sebuah sinergi.

Penggunaan pendekatan transdisiplin dilakukan untuk mencapai sasaran yaitu:
1) Bagaimana menghadapi aspek-aspek realitas.
2) Bagaimana memahami isu-isu global dan kompleks.
3) Bagaimana mendorong sinergi antar disiplin.
4) Bagaimana menggalang kerjasama antarahli berbagai sektor.
Implementasi transdisiplin mengandung makna adanya kerja kooperatif atau sinergi di antara orang-orang dan sektor-sektor yang terlibat di dalamnya. Penerapan transdisiplin digunakan untuk mencapai sesuatu di luar dimensi kuantitatif Adanya sinergi dalam konsep transdisiplin dimaksudkan untuk mencapai tingkat harmoni yang lebih tinggi dari integrasi ilmu pengetahuan yang disebut dengan simponi.
Pemanfaatan pendekatan transdisiplin pada saat perkuliahan telah dilakukan karna adanya diskusi antar kelompok dari berbagai sumber, guna membahas perkembangan yang terjadi dan untuk meningkatkan pengetahuan dengan mengintegrasikan dan mentransformasikan beragam perspektif yang berbeda-beda.
Pendekatan transdisiplin sangat dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan dalam sebuah perkuliahan ini. Dalam sebuah diskusi masalah tidak lagi dilihat secara parsial dari satu sisi, tapi harus mensinergikan dengan perspektif lain. Dan dalam upaya mengahadapi isu-isu dan mncari solusi yang bersifat global dan kompleks sangat memerlukan dialog antar disiplin untuk menghubungkan dan meningkatkan saling pengertian. Oleh karenanya pemahaman akan dunia saat ini merupakan kepentingan kesatuan pengetahuan.
Sedangkan menerapkan Conceptualized comparative approach atau pendekatan komparatif dalam sebuah diskusi merupakan kemampuan menggunakan metode untuk mengetahui persamaan atau perbedaan  yang ditentukan dengan pengujian secara simultan  dari dua hal atau lebih. Penggunaan pendekatan komparatif dalam sebuah diskusi saat mengikuti kuliah dengan multikulturalisme dalam kelas.
Pendekatan komperatif yang digunakan dalam sebuah diskusi perkuliahan ilmu social ini, akan dapat memberikan kontribusi yang sangat signifikan. Dikatakan demikian karena dengan menggunakan metode komparatif tadi kita akan dapat memahami perbedaan – perbedaan yang ada dalam berbagai teori ilmu social maupun yang lainnya. Selanjutnya dalam pengkajian tersebut juga akan lebih menggairahkan dan memperkaya khazanah ilmu social dalam diri kita.
Sementara itu pula dengan dilakukannya pendekatan komparatif dalam mengkaji berbagai teori ilmu sosial, maka lahirlah apa yang disebut dengan ilmu perbandingan sosial. Kemudian dari hasil pendekatan - pendekatan tadi, munculah dialog antara  berbagai bidang ilmu pengetahuan yang dimiliki setiap individu sekaligus melahirkan kerukunan antar individu.
Dialog formal adalah pembicaraan atau dialog mengenai suatu doktrin tertentu yang sudah sama-sama disetujui  sebelumnya oleh kedua belah pihak, dalam suatu pertemuan terbuka atau tertutup, kemudian dipublikasikan. Sementara dialog informal, mencakup segala bentuk pergaulan, kerjasama, hubungan sosial antara penganut-penganut agama yang berbeda. Melalui dialog yang demikian diharapkan akan dapat menghilangkan kecurigaan dan selanjutnya akan tumbuh penghargaan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

2.      Menguraikan Mengapa diperlukan sekolah dan kelas yang heterogen untuk mengkaji masalah-masalah social etnisitas, nasionalitas, dan integritas dengan wawasan multikulturalisme? Jelaskan teori-teori yang menjelaskan topic-topik tersebut di atas.
Pengelompokan kelas yang heterogen ini dikaitkan dengan upaya untuk menghilangkan "dumbed-down" kurikulum dan untuk memungkinkan semua siswa manfaat dari akses ke tingkat tinggi praktik pembelajaran. Penelitian menunjukkan efek positif pada prestasi, harga diri, hubungan antarkelompok, dan penerimaan yang lebih besar dari siswa yang harus diutamakan, (Slavin, 1991). Dengan adanya siswa yang Multikultural yang memiliki arti kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, suku bangsa, gender, bahasa dan agama. Yang menegaskan bahwa segala perbedaan itu adalah sama di ruang publik dan menekankan pengakuan dan penghargaan pada perbedaan.
Etnisitas dalam Wawasan Multikulturalisme
Pendidikan multikultural sesungguhnya bukanlah pendidikan khas Indonesia. Akan tetapi pendidikan ini merupakan pendidikan khas Barat.  Amerika, Jerman, Kanada dan Inggris, menerapkan pendidikan multicultural. Walaupun begitu, pendidikan multicultural di Indonesia juga amat perlu  untuk dijadikan satu elemen penting dalam pendidikan. Peserta didik memandangkan Negara Indonesia sendiri terdiri dari berbagai suku, ras, bahasa dan lain-lain. Hal ini dapat diimplementasikan baik pada substansi maupun model pembelajaranya, yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya. Pentingnya pendidikan multikultural dalam kehidupan kita, agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakat.
Adapun, alasan yang melatarbelakangi pendidikan multikultural, yaitu   keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar belakang berbeda, baik dari suku, agama, dan kelas sosial. 3 (tiga) teori sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar individu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia ketiga teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo Conformity, (2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis, dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Ketiga teori tersebut populer dengan sebutan teori masyarakat majmuk  (communal theory).
Teori pertama, Melting Pot I: Anglo Conformity, berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang—seperti  agama, etnik, bahasa, dan budaya yang harus disatukan ke dalam satu wadah yang paling dominan. Teori ini melihat individu dalam masyarakat secara hirarkis, yaitu kelompok mayoritas dan minoritas. Bila mayoritas individu dalam suatu masyarakat adalah pemeluk agama Islam, maka individu lain yang memeluk agama non-Islam harus melebur ke dalam Islam. Bila yang mendominasi suatu masyarakat adalah individu yang beretnis Jawa, maka individu lain yang beretnis lain  harus mencair ke dalam etnis Jawa, dan demikian seterusnya. Teori ini hanya memberikan peluang kepada kelompok mayoritas untuk menunjukkan identitasnya. Sebaliknya, kelompok minoritas sama sekali tidak memperoleh hak untuk mengekspresikan identitasnya. Identitas di sini bisa berupa agama, etnik, bahasa, dan budaya. Teori ini tampak sangat tidak demokratis.
Karena teori pertama tidak demokratis, maka muncullah teori kedua yaitu Melting Pot II: Ethnic Synthesis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel Zangwill ini memandang bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang beragam latar belakangnya, disatukan ke dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk wadah baru, dengan memasukkan berbagai  unsur budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam masyarakat tersebut. Identitas para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru, sehingga identitas lamanya menjadi hilang. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu-individu yang beretnis Jawa, Sunda, dan Batak,maka identitas asli dari ketiga etnik tersebut menjadi hilang, selanjutnya membentuk identitas baru. Islam Jawa di kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya. Teori, ini belum sepenuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya asli individu dalam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya yang lain.
Melihat teori kedua belum sepenuhnya demokratis, maka muncullah teori ketiga, yaitu Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Teori yang dikembangkan oleh Berkson ini, berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas
Dari ketiga teori komunal di atas, teori ketigalah yang dijadikan dasar oleh pendidikan multikultural, yaitu teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Untuk konteks Indonesia, teori ini sejalan dengan semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif, semboyan tersebut memberi peluang kepada semua bangsa Indonesia untuk mengekspresikan identitas bahasa, etnik, budaya, dan agama masing-masing, bahkan diizinkan untuk mengembangkanya.

Nasionalitas dalam Wawasan Multikulturalisme
Sebagai ideologi modern, nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan mulai dominant di Eropa pada  tahun 1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan feudal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam system pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideology yang dapat mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang kolonialisme.
Hans Kohn, seorang ahli ethnografi atau anthropologi budaya abad ke-19 dari Jerman mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa ialah himpunan komunitas yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama dan peradaban. Mereka hidup dalam sebuah wilayah dan mempunyai yang sama. Suatu bangsa tumbuh dan berkembang, menurut Hans Kohn, karena adanya unsur-unsur dan akar-akar sejarah yang membentuknya. Teori yang didasarkan pada persamaan ras dan etnik dan unsur-unsur lain yang bersifat primordial agaknya kurang mendapat tempat, walaupun ada beberapa yang melaksanakannya seperti Jepang dan Israel.
Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis akhir abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan atas evolusi masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19, masa berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang dimaksud ialah timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak zaman pra-Sejarah hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu bangsa atau negara bangsa ialah: (1) Jiwa atau asas kerohanian yang sama, berupa pandangan hidup dan system nilai; (2)  Memiliki solidaritas besar, misalnya disebabkan persamaan nasib dalam sejarah; (3) Munculnya suatu bangsa merupakan hasil Dario sejarah; (4) Karena merupakan hasil suatu sejarag apa yang disebut bangsa itu sebenarnya tidaklah abadi atau kekal; (5) Wilayah dan ras bukanlah suatu peyebab timbulnya bangsa. Wilayah hanya memberi ruang untuk menjalankan kehidupan, sedangkan jiwa bangsa dibentuk oleh pemikiran, system kepercayaan, kebudayaan dan agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai ‘suatu asas kerohanian yang sama’. Renan juga mengemukakan beberapa faktor penting terbentuknya jiwa atau semangat suatu bangsa: (1) Kejayaan dan kemuliaan di masa lampau; (2) Suatu keinginan hidup bersama baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang; (3) Penderitaan bersama atau rasa senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan solidaritas besar untuk bangkit; (4) Penderitaan besar yang dialami bersama dalam sejarah melahirkan pula apa yang disebut ‘Le capital social’ (modal sosial) . Ini berguna bagi pembentukan dan pembinaan faham kebangsaan.  Tetapi apa yang terjadi di masa lalu tidaklah sepenting apa yang diharapkan di masa depan; (5) Karena yang penting ialah apa yang dihasratkan di masa depan maka terbentuknya suatu bangsa yang kuat memerlukan “persetujuan bersama pada waktu sekarang”, berupa musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama; (6) Adanya keinginan untuk hidup bersama; (7) Jika demikian halnya, maka harus bersedia pula untuk memberikan pengorbanan. Kesediaan berkorban ini penting dikembangkan agar semangat kebangsaan tetap kuat; (8) Pemilihan umum merupakan syarat mutlak yang menentukan kehidupan suatu bangsa. Apa yang dikemukakan Renan ini terkait dengan tuntutan akan demokrasi dan keadilain.
Di antara teori-teori yang telah disebutkan itu, yang sangat berpengaruh pada pemikiran tokoh-tokoh gerakan kebangsaan Indonesia termasuk Sukarno dan Hatta ialah teori Ernest Renan.
Integrasi dalam Wawasan Multikulturalisme
Dalam konteks kehidupan sosial, manusia dianggap sebagai sebuah species yang tidak dapat memisahkan diri dari kelompoknya.Sebagian besar kalangan sepakat bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Sehingga, ciri dasar yang melekat pada manusia adalah kemampuan interaksi sosial yang ia lakukan.Walaupun demikian, tidak selamanya interaksi sosial berjalan dengan baik. Terkadang dalam proses interaksi sosial, manusia seringkali dihadapkan dalam berbagai permasalahan yang menyebabkan perselisihan dan konflik.Konflik ini biasanya terjadi dalam dua hal.Pertama, Konflik kelompok, yaitu sebuah konflik yang terjadi pada tataran  integrasi sosial.Masyarakat yang homogen biasanya mudah melakukan interaksi dengan sesamanya.Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki bentuk heterogen, manusia seringkali terlibat pada konflik yang terjadi sesamanya. Konflik ini bisa muncul dalam bentuk yang laten (tersembunyi dan tidak nampak dipermukaan)  maupun memiliki bentuk manifest (terbuka dan mudah diketahui).
Horace Kallen Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen. Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam batas-batas menjaga persatuan nasional. Kallen mencoba mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di Amerika Serikat itu penting dan masing-masing berkontribusi unik menambah variasi dan kekayaan budaya, misalnya bangsa Amerika. Teori Kallen mengakui bahwa budaya yang dominan harus juga diakui masyarakat. Dalam konteks ini Kallen tetap mengakui bahwa budaya WASP di AS itu sebagai budaya yang dominan, sementara budaya-budaya yang lain itu dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika. Penghargaan atau pengakuan terhadap budaya yang dominan dari Horace Kallen oleh kelompok yang lain ini dipandang bukan merupakan bagian dari teori multikultural. Nanti akan kita lihat dalam pembahasan teori dari Banks mengenai kelompok Afrosentris yang antipati terhadap keberadaan kelompok dominan ini.
James A. Banks Kalau Horace Kallen perintis teori multikultur, maka James A. Banks dikenal sebagai perintis Pendidikan Multikultur. Jadi penekanan dan perhatiannya difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus diajar memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari semua pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi itu nampak bertentangan sesuai dengan sudut pandangnya. Siswa seharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembentukan sejarah (interpretations of the history of the past and history in the making) sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri. Mereka perlu diajari bahwa mereka sebenarnya memiliki interpretasi sendiri tentang peristiwa masa lalu yang mungkin penafsiran itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran orang lain. Misalnya, mengapa sampai terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830.
Bill Martin Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or Transformational?, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128) Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis Barat. Martin menyebut Afrosentris dan tradisional Barat itu sebagai "consumerist multiculturalism". Selanjutnya, Martin mengusulkan sesuatu yang baru. Multikulturalisme bukan "konsumeris" tetapi "transformational", yang memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan bahwa di samping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain yang berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju multikulturalisme yaitu visi yang muncul lewat transformasi.
Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar di antara kelompok-kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki dan dikembangkan bersama. Untuk mencapai tujuan itu sangatlah dibutuhkan adanya komunikasi antar berbagai segi pandang yang berbeda. Mengapa ini penting? Karena selama ini masing-masing kelompok bersikap tertutup terhadap kelompok yang lain dan tidak ada komunikasi tanpa prasangka di antara kelompok-kelompok yang ada.
Martin J. Beck Matustik Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang masyarakat multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Matustík mengatakan "Semua segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah pada pemikiran kembali norma Barat (the western canon) yang mengakui bahwa dunia multikultural adalah benar-benar nyata adanya " (Matustík, 1998). Dalam artikelnya, "Ludic, Corporate and Imperial Multiculturalism: Impostors of Democracy and Cartographers of the New World Order," Matustik menulis, "perang budaya, politik dan ekonomi menyerang pada segi yang mana, bagaimana dan lewat siapa sejarah multikultural dijelaskan." Matustík mengatakan bahwa teori multikulturalisme meliputi berbagai hal yang semuanya mengarah kembali ke liberalisasi pendidikan dan politik Plato, filsuf Yunani. Sebuah karya Plato yang berjudul Republik, bukan hanya memberi norma politik dan akademis klasik bagi pemimpin dari negara ideal yang dia cita-citakan, namun juga menjadi petunjuk dalam pembahasan bersama tentang pendidikani bagi yang tertindas (Matustík, 1998). Ia yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan multikultural baru (a new multicultural enlightenment) yaitu "multikulturalisme lokal yang saling berkaitan, secara global sebagai lawan dari monokultur nasional" (Matustík, 1998).
Judith M. Green Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya unik di A.S. Negara lain pun harus mengakomodasi berbagai kelompok kecil dari budaya yang berbeda. Kelompok-kelompok ini biasanya bertoleransi terhadap keuntungan budaya dominan. Secara unik, Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan mereka mempengaruhi kebudayaan yang ada. Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan kekuasaan, membawa perubahan seperti peningkatan upah dan keamanan kerja. Wanita dan minoritas (Hispanis, Afrika dan Amerika Asli) harus memperoleh kesempatan ekonomi yang lebih baik, partisipasi politis yang lebih efektif, representasi media yang lebih disukai, dan sebagainya. Namun akhir abad 20 telah membawa orang Amerika pada suatu tempat "memerangi kebuntuan yang memerlukan pemikiran kembali yang baru dan lebih dalam tentang tujuan dan materi pendidikan dalam suatu masyarakat yang masih terus diharapkan dan dicita-citakan yang dibimbing oleh ide demokrasi" (Green, 1998). Bangsa ini selalu memandang pendidikan sebagai cara perubahan yang efektif, baik secara personal maupun sosial. Sehingga lewat pendidikan Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam transformasi. Beberapa kelompok tidak bisa melihat bahwa kita sekarang adalah apa yang selalu ada. Yaitu, Amerika yang sejak kelahirannya, selalu memiliki masyarakat multikultural di mana berbagai budaya telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan kerjasama (Green, 1998).  

II.    Masyarakat surat kabar, buku bacaan (pustaka) dan ilmu-ilmu social merupakan sumber materi pembelajaran pendidikan IPS. Atas konsep tersebut, cobalah anda bahas persoalan berikut ini
1.      Mohon anda analisis bahwa pembelajaran IPS tidak akan kekurangan materi pembahasan, hanya sangat bergantung kepada peranan dan factor gurunya

Mengenai pembelajaran IPS disekolah agar tidak kekurangan materi pembahasan dalam mengajarkan IPS seorang guru haruslah mengetahui strategi atau model pembelajaran yang merupakan suatu rencana tindakan (rangkaian kegiatan) yang termasuk juga penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber media, daya/kekuatan dalam pembelajaran IPS.
Pembelajaran IPS bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, sikap, nilai serta potensi dan keterampilan-keterampilan yang dimiliki siswa, baik keterampilan intelektual, keterampilan sosial, maupun keterampilan psikomotor. Keterampilan-keterampilan tersebut dalam proses belajar-mengajar tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dan harus merupakan kesatuan. Keterampilan-keterampilan dalam IPS hanya dapat berkembang manakala guru menggunakan model dan strategi mengajar yang tepat. Pembelajaran dan pendidikan IPS yang ada dalam kurikulum di sekolah merupakan  bahan pembelajaran yang telah disederhanakan dari bagian-bagian pengetahuan sosial, dimana tingkat kesukarannya telah disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan anak usia sekolah. Eded Tarmedi (Istiantiet al., 2007:61) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip pembelajaran IPS mendasarkan diri pada lima prinsip, kelima prinsip tersebut yaitu:
a.       Pembelajaran akan efektif manakala pembelajaran itu bermakna (meaningfull),
b.      Pembelajaran akan efektif manakala pembelajaran itu terpadu (integrative),
c.       Pembelajaran akan efektif manakala pembelajaran itu berdasarkan pada nilai (value based),
d.      Pembelajaran akan efektif manakala pembelajaran itu menantang (challenging),
e.       Pembelajaran akan efektif manakala pembelajaran itu aktif (active).

Oleh karena itu, dalam mencapai tujuan dari pendidikan dan pembelajaran IPS di sekolah, maka guru harus senantiasa memperhatikan kelima prinsip tersebut, dimana guru harus membuat situasi pembelajaran yang bermakna, terpadu, bernilai, menantang dan membuat siswa aktif. Hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran IPS secara efektif.
Dalam KTSP (Depdiknas, 2008: 163) telah dijelaskan bahwa ruang lingkup mata pelajaran IPS di SD yaitu meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1.      Manusia, tempat, dan lingkungan
2.      Waktu, keberlanjutan, dan perubahan
3.      Sistem sosial dan budaya
4.      Perilaku ekonomi dan kesejahteraan.
Oleh karena itu, dalam mengembangkan pembelajaran IPS di Sekolah, guru harus mengacu pada KTSP yang dapat dijadikan pedoman dalam mencapai tujuan pembelajaran IPS di Sekolah yang diharapkan. Maka dalam mengajarkan IPS di sekolah itu harus mengacu pada aspek-aspek di atas, yaitu mengenai manusia, tempat, lingkungan, waktu, keberlanjutan, perubahan, sistem sosial dan budaya, serta perilaku ekonomi dan kesejahteraan. Jadi tujuan pembelajaran IPS di sekolah dapat dikatakan berhasil manakala aspek-aspek tersebut dapat dikuasai dan dipahami oleh siswa.
2.      Konsep-konsep dasar dan tentang social studies yang melekat pada konsep citizenship transmission model. Jelas konsep-konsep dasar dari social studies alam kaitannya dengan citizenship transmission.
Seperti diketahui pula sebagai program pendidikan yang berperan sebagai tempat pelestarian kebudayaan suatu bangsa sudah ada sejak adanya manusia itu sendiri, model ini berkembang hingga tahun 1960 an. Dalam berbagai literatur program pendidikan citizenship transmission dilakukan dengan memberikan contoh-contoh dan pemakaian cerita yang disusun untuk mengajarkan kebijakan, cita-cita luhur suatu bangsa, dan nilai-nilai kebudayaan. Program pendidikan yang seperti ini banyak dilakukan dalam pembelajaran IPS yang membahas kompetensi sejarah, dan pendidikan kewarganegaraan. Misalnya ceritera tentang perjuangan pahlawan (heroisme) dan contoh-contoh moral untuk membangkitkan inspirasi pemuda untuk menilai dan mencapai cita-cita tinggi yang diwariskan.  Agar program pendidikan transmisi dari yang tua ke yang muda berhasil (tidak menyimpang dari aslinya), maka pemindahan kebudayaan dilembagakan, misalnya melalui program pendidikan formal. Inilah yang akhir-akhir ini di Indonesia menjadi dasar perlunya PKn dan sejarah sebagai mata pelajaran terpisah dari IPS, karena untuk memudahkan dalam program citizenship transmission. Program pendidikan citizenship transmission sering juga di asosiasikan sebagai pendidikan nilai-nilai idealistik dan manusia, sehingga cara ini sering dianggap sebagai indoktrinasi dan propaganda. Misalnya, George washington tidak pernah berdusta, Lincoln sifatnya sangat jujur, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta Proklamator Indonesia, Soeharto bapak pembangunan masa orde baru.
3.      Pembelajaran IPS yang diproses sesuai dengan hakikatnya, mampu meningkatkan kualitas keterampilan social (social skill) dan kecerdasan social (social intelligence) peserta didik. Atas dasar asumsi tersebut, cobalah anda bahas strategi proses pembelajaran IPS untuk mengembangkan social skill dan social intelligences peserta didik melalui pembelajaran IPS.
Strategi proses pembelajaran IPS untuk mengembangkan social skill Menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002: 15), keterampilan sosial adalah keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri, bekerjasama, menggunakan angka, memecahkan masalah serta keterampilan membuat keputusan. Hal ini diperkuat oleh Aness (1984: 249) dalam Rahmania (2006), yang menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan dalam memperoleh informasi (keterampilan membaca, keterampilan belajar, mencari informasi dan keterampilan menggunakan alat-alat teknologi), keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat. Keterampilan sosial tersebut sangat relevan untuk dikembangkan dalam mata pelajaran IPS di Indonesia, agar diharapkan para peserta didik dapat hidup sebagai warga negara , warga masyarakat dan warga dunia yang dapat berperan dalam masyarakatnya. Untuk mencapai sasasaran tersebut, menurut Wiraatmadja (2002: 276), guru harus selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skill) yaitu meliputi kemampuan mengajar (teaching skill) melalui loka karya, seminar, pertemuan MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) atau dengan mendatangkan nara sumber. Nana Supriatna (2002: 18) menyebutkan ada beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, di antaranya:
1.      Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran yang relevan adalah cooperative learning. Dengan pembelajaran cooperative learning, maka siswa tidak saja menghafal fakta, konsep dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah dan guru sebagai satu-satunya sumber informasi, melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas seperti bekerja kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas. Ini artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Guru selain berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan siswa, juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment) baik untuk pengetahuan ke-IPS-an juga menilai keterampilan social (social skill) selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2.      Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang diterima.
3.      Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan keterampilan social dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Menurut Supriatna ada beberapa keuntungan dari strategi ini, yaitu:
a.       Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic dan positif ketika menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah.
b.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang relevan serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereke secara pribadi.
c.       Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan belajar.

Strategi proses pembelajaran IPS untuk mengembangkan social intelligences
Belen et al. (1996: 336-337), mengemukakan tujuan dari pembelajaran IPS yaitu untuk mengembangkan tiga keterampilan yang dimiliki siswa. Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan berpikir (intelektual), sosial dan psikomotor. Dimana keterampilan intelektual merupakan suatu kemampuan siswa untuk berpikir logis dan sistematis dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan nyata di masyarakat. Keterampilan sosial merupakan berkomunikasi dan bersosialisasi dengan sesama manusia di lingkungan masyarakat.
 Kecerdasan Sosial adalah kecerdasan yang digunakan orang untuk berinteraksi dan berhubungan antara satu dengan yang lain. Selain itu kecerdasan sosial adalah merupakan keseluruhan dari kemampuan seseorang yang digunakan untuk berinteraksi atau berhubungan secara efektif dengan orang lain. Kapanpun seseorang berinteraksi dengan orang lain, apakah dengan teman, anggota keluarga, kenalan, asosiasi bisnis, maupun penjaga toko, kecerdasan sosial merupakan suatu keterampilan yang harus dimiliki. Sikap yang menunjukkan individu cerdas secara sosial dapat terlihat dalam bentuk kasih sayang, peduli sekitarnya, mampu mebawa diri, jujur, empati, menolong, menghargai, dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar. Kecerdasan sosial merupakan salah satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang siswa karena bertujuan membentuk pribadi siswa supaya menjadi manusia, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Metode yang digunakan dalam mengembangkan perilaku kecerdasan sosial pada siswa salah satunya adalah dengan media biblioterapi atau lebih dikenal dengan bibliokonseling. Dalam hal ini konselor memberikan buku atau cerita yang di dalamnya terdapat ajaran tentang berperilaku kecerdasan sosial yang meliputi peduli/kesadaran sosial, kemampuan membawa diri, kebenaran, kejelasan, dan empati. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk menguji efektifitas panduan kecerdasan sosial bagi siswa. Produk penelitian pengembangan ini adalah: buku panduan bagi konselor, dan buku panduan bagi siswa. Uji akseptabilitas dimaksudkan untuk mengetahui keberterimaan panduan yang didasarkan pada empat indikator yaitu: kegunaan (utility), kelayakan (feasibility), ketepatan (accuracy), dan kemenarikan. Uji efektifitas dilakukan setelah standar akseptabilitas produk terpenuhi. Efektifitas panduan didasarkan pada analisa hasil pemahaman, sikap, dan tingkah-laku tentang aspek-aspek kecerdasan sosial yaitu: aspek Situational Awareness (Kesadaran Situasional), Presense (Kemampuan Membawa Diri), Authenticity (Keaslian atau Kebenaran dari Pribadi Individu), Clarity (Kejelasan), dan Empathy (Empati).Pengembangan panduan pelatihan kecerdasan sosial (social intelligence) menggunakan model kombinasi Borg & Gall dengan Dick & Carey yang terdiri atas tiga tahapan pengembangan, yaitu pra pengembangan, pengembangan, dan pasca pengembangan. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap pra pengembangan adalah melakukan need assessment dan penjaringan siswa yang akan dijadikan subjek pelatihan. Dari hasil wawancara dengan konselor dapat disimpulkan bahwa pelatihan yang akan diadakan sangat perlu dan bermanfaat bagi siswa. Selanjutnya pemilihan subjek pelatihan dilakukan melalui pengisian skala kecerdasan sosial, dan laporan dari konselor sekolah, sehingga terpilihlah tujuh orang siswa yang menjadi subyek pelatihan. Dalam tahap pengembangan, langkah-langkah yang ditempuh adalah menyusun draf panduan, merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus panduan pelatihan, mengembangkan alat evaluasi, dan menentukan strategi pelatihan. Tahap ini menghasilkan prototype panduan pelatihan kecerdasan sosial (sosial intelligence) bagi konselor dan siswa. Tahap pasca pengembangan atau tahap evaluasi formatif terdiri empat tahap yaitu tahap uji caba prototype produk oleh ahli, konselor, perorangan (dua orang siswa) dan uji kelompok terbatas (siswa). Hasil penilaian ahli dan konselor menunjukkan bahwa panduan pelatihan kecerdasan sosial (social intelligence) efektif bila ditinjau dari segi kegunaan, kelayakan, ketepatan, dan kemenarikan. Uji efektifitas pada kelompok terbatas dilakukan dengan rancangan singgle subject design dengan model A-B. Berdasarkan hasil uji coba penelitian, menunjukkan bahwa secara keseluruhan bahwa panduan kecerdasan sosial (social intelligence) dengan menerapkan teknik biblioterapi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kecerdasan sosial siswa yang meliputi aspek kesadaran situasional (Situational Awareness), kemampuan membawa diri (Presence), kebenaran (Authenticity), kejelasan (Clarity), dan empati (Empathy), memiliki dampak yang positif terhadap peningkatan kemampuan target behavior yang diinginkan. Peningkatan kemampuan pemahaman, sikap, dan perilaku kecerdasan sosial ke tujuh subyek ditunjukkan melalui meningkatnya mean level dan perubahan dari level, central tendency, trend, dan latency tiap subyek pada tiap aspek kecerdasan sosial. Dengan meningkatnya data-data tersebut mengindikasikan bahwa panduan kecerdasan sosial (social intelligence) dengan menerapkan teknik biblioterapi efektif untuk meningkatkan kemampuan, pemahaman, sikap, dan tingkah-laku kecerdasan sosial siswa.