PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ANAK USIA
DINI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Eni Purwati
A. Pendahuluan
Mencetak generasi unggul dan ”sukses hidup” di tengah
persaingan global dapat dilakukan dengan jalan menyelenggarakan pendidikan yang
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk tumbuh dan
berkembang sesuai dengan potensi, bakat, minat dan kesanggupannya.
Menyelenggarakan pendidikan yang membebaskan anak dari tindak kekerasan.
Menyelenggarakan pendidikan yang memperlakukan anak dengan ramah.
Menyelenggarakan pendidikan yang memanusiakan anak. Menyelenggarakan pendidikan
yang memenuhi hak-hak anak. Hal tersebut akan terwujud jika pendidikan yang
demikian dilakukan sejak anak usia dini.
Islam sangat memperhatikan pemeliharaan hidup dan
kehidupan manusia sejak dini. Perhatian itu melebihi perhatian apa pun yang ada
pada undang-undang yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Islam sangat
memperhatikan anak-anak pada setiap fase kehidupan mereka. Bahkan Islam
memperbolehkan seorang ibu yang hamil membatalkan puasanya, jika itu
dikhawatirkan dapat membahayakan janin atau anaknya yang sedang dikandung atau
disusuinya. Semua itu membuktikan bahwa Islam sangat menghargai keberadaan
hidup dan kehidupan manusia semenjak manusia berupa janin sampai manusia
menjadi besar dan dewasa. Oleh karena itu, pendidikan harus diberikan manusia
semenjak usia dini. Karena pendidikan yang dimulai sejak usia dini mempunyai
daya keberhasilan yang tinggi dalam menentukan tumbuh-kembang kehidupan anak
selanjutnya.
Namun yang menjadi permasalahan adalah pendidikan usia
dini yang bagaimanakah yang dapat mengembangkan potensi fitrah manusia sebagai
hamba Allah di dunia dan khalifatullah di muka bumi? Melalui makalah
yang berjudul “Model Pengembangan Pendidikan Usia Dini dalam
Perspektif Pendidikan Islam” ini, penulis mencoba membahas permasalahan
pendidikan usia dini dalam dua poin yang saling berkaitan, dengan mengkaji dari
segi fondasional dan operasional pendidikan Islam, yaitu: (1) Dasar-dasar
Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini; (2) Model Pengembangan Pendidikan Anak
Usia Dini dalam Perspektif Islam. Poin pertama bertujuan untuk menganalisis
landasan fondasional yang berkaitan dengan proses pendidikan usia dini;
kemudian poin kedua mencoba menjabarkan secara operasional pengembangan
pendidikan usia dini dari perspektif pendidikan Islam. Bahasan itu akan digali
dengan mengkaji, menganalisis dan membandingkan berbagai literatur yang ada korelasinya
dengan judul makalah di atas, disamping itu penyempurnaannya diharapkan dari
berbagai masukan dalam diskusi mata kuliah “Pengembangan Pendidikan Islam:
Kajian Fondasional dan Operasional”.
B. Dasar-dasar Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini
1. Pengertian Pendidikan
Anak Usia Dini
Sebelum dibicarakan tentang pendidikannya terlebih
dahulu akan dibahas tentang anak usia dini. Yang dimaksud Anak Usia Dini adalah
sebagai berikut:[1]Anak usia dini adalah kelompok manusia yang
berusia 0-6 tahun ( di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional). Menurut para pakar pendidikan anak, yaitu
kelompok manusia yang berusia 0-8 tahun. Anak usia dini adalah kelompok anak
yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, dalam
arti memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan
kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan
spiritual), sosial emosional (sikap dan prilaku serta agama), bahasa dan
komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.
Berdasarkan keunikan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, anak usia dini
terbagi dalam empat tahapan, yaitu: (a) masa bayi lahir sampai 12 bulan, (b)
masa balita usia 1-3 tahun, (c) masa prasekolah usia 3-6 tahun, (d) masa kelas
awal SD 6-8 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini perlu diarahkan
pada peletakan dasar-dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia
seutuhnya, yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik, daya pikir, daya cipta,
sosial emosional, bahasa dan komunikasi yang seimbang sebagai dasar pembentukan
pribadi yang utuh.
Setelah diketahui pengertian Anak Usia Dini, berikut
dipaparkan tentang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah suatu proses
pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir hingga enam tahun secara menyeluruh,
yang mencakup aspek fisik maupun non fisik, dengan memberikan rangsangan bagi
perkembangan jasmani, rohani (moral dan spiritual), motorik, akal pikir,
emosional dan sosial yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal. Adapun upaya yang dilakukan mencakup stimulasi intelektual,
pemeliharaan kesehatan, pemberian nutrisi, dan penyediaan kesempatan yang luas
untuk mengeksplorasi dan belajar secara aktif. Dengan demikian, PAUD dapat
dideskripsikan sebagai berikut: Pertama, upaya untuk menstimulasi,
membimbing, mengasuh, dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan
menghasilkan kemampuan dan ketrampilan pada anak. Kedua, merupakan salah
satu bentuk penyelenggaraan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah
pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar),
intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan
spiritual), sosial emosional (sikap dan prilaku serta agama), bahasa dan
komunikasi. Ketiga, sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan, PAUD
disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.[2]
Pendidikan usia dini dalam perspektif pendidikan Islam
adalah usaha membantu anak agar fitrah (QS. 30:30) yang disebut dengan
kecakapan/ability baik fisik maupun non fisik[3] itu dapat dibantu perkembangannya sejak dini.
Pendidikan usia dini dapat dimaknakan sebagai semua proses yang mengarah pada
bantuan pemeliharaan jiwa manusia untuk selalu berada dalam kemaslahatan hidup
baik di dunia maupun di akhirat, dan membantu agar fitrah yang merupakan
kecakapan potensial yang dibawa sejak kelahirannya dapat berkembang secara
maksimal sesuai dengan ketentuan dalam shari’at Islam.
Di samping itu, salah satu misi sentral Nabi SAW
adalah peningkatan kualitas SDM secara utuh baik jasmani maupun rohani, yaitu
mendidik manusia, memimpin mereka ke jalan Allah, dan mengajarkan untuk
menegakkan masyarakat yang adil, sehat, harmonis, sejahtera baik material
maupun spiritual. Nabi SAW diutus untuk mengembangkan kualitas kehidupan
manusia: mensucikan moral manusia, membekalinya dengan segala sesuatu yang
diperlukan untuk menghadapi kehidupan di dunia dan diakhirat (QS. 34: 28; 21:
107). Misi kependidikan pertama Nabi SAW adalah menanamkan aqidah yang benar,
yaitu aqidah tawhid, memahami seluruh fenomena alam dan kemanusiaan
sebagai suatu kesatuan, suatu yang holistik. Dalam kerangka tawhid, SDM
adalah manusia yang memiliki kualitas yang seimbang: beriman, berilmu, dan
beramal; cakap lahir dan batin; berkualitas secara emosional, rasional, dan
sosial/memiliki EQ, IQ, dan SQ yang tinggi.[4]
2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini memiliki fungsi utama
mengembangkan semua aspek perkembangan anak, meliputi perkembangan kognitif,
bahasa, fisik (motorik kasar dan halus), sosial dan emosional. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara perkembangan
yang dialami anak pada usia dini dengan keberhasilan mereka dalam kehidupan
selanjutnya. Misalnya, anak-anak yang hidup dalam lingkungan (baik di rumah
maupun di KB atau TK) yang kaya interaksi dengan menggunakan bahasa yang baik
dan benar akan terbiasa mendengarkan dan mengucapkan kata-kata dengan benar,
sehingga ketika mereka masuk sekolah, sudah mempunyai modal untuk membaca.[5]
Sehubungan dengan fungsi-fungsi di atas, maka tujuan
pendidikan anak usia dini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. memberikan
pengasuhan dan pembimbingan yang memungkinkan anak usia dini tumbuh dan
berkembang sesuai dengan usia dan potensinya.
b. Mengidentifikasi
penyimpangan yang mungkin terjadi, sehingga jika terjadi penyimpangan, dapat
dilakukan intervensi dini.
c. Menyediakan
pengalaman yang beraneka ragam dan mengasyikkan bagi anak usia dini, yang
memungkinkan mereka mengembangkan potensi dalam berbagai bidang, sehingga siap
untuk mengikuti pendidikan pada jenjang selanjutnya (SD/MI)
3. Landasan Pendidikan
Anak Usia Dini
Landasan Yuridis (Hukum)
Penyelenggaraan PAUD merupakan pengejawentahan dari:
a. Amandemen UUD
1945 pasal 28 b ayat 2, yaitu: ”Negara menjamin kelangsungan hidup,
pengembangan dan perlindungan anak terhadap eksploitasi dan kekerasan”
b. Konvensi Hak Anak
melalui Keppres No. 36 tahun 1990 yang mengandung kewajiban negara untuk
memenuhi hak anak.
c. UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana PAUD dibahas dalam bagian ke
tujuh pasal 28 yang terdiri dari 6 ayat, yang intinya bahwa PAUD meliputi semua
pendidikan anak usia dini apapun bentuknya, dimanapun diselenggarakannya, dan
siapapun yang menyelenggarakannya.
d. Undang-undang
Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:
1) bagian ketiga
”Pendidikan” pasal 40 yang menegaskan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan
yang diberikan oleh negara, pemerintah, keluarga, maupun orang tua terhadap
anak, harus diarahkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) pengembangan sikap
dan kemampuan kepribadian anak, bakat, dan kemampuan mental dan fisik sampai
mencapai potensi mereka yang optimal
b) pengembangan
penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi
c) pengembangan rasa
hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri,
nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, darimana anak berasal, dan
peradaban-peradaban yang berbeda dari peradaban sendiri
d) persiapan anak untuk
kehidupan yang bertanggungjawab
e) pengembangan rasa
hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
2) pasal 4 yang
berbunyi: ”setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
3) Pasal 10 berbunyi:
”setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”.
4) Pasal 11 berbunyi:
”setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”.
5) Pasal 13 berbunyi:
”setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun
yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a) diskriminasi
b) eksploitasi, baik
ekonomi maupun seksual
c) penelantaran
d) kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan
e) ketidakadilan, dan
f) perlakuan salah
lainnya
e. Deklarasi PBB tentang hak-hak anak memuat hal-hal
sebagai berikut[6]:
1) Hak untuk memperoleh
perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka
berkembang secara sehat dan wajar, dalam keadaan bebas dan bermartabat
2) Hak memiliki nama dan kebangsaan sejak
lahir
3) Hak mendapat jaminan sosial, termasuk
gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan
4) Hak memperoleh pendidikan, perawatan
dan perlakuan khusus jika terdapat cacat tubuh
5) Hak untuk tumbuh dan dibesarkan dalam
suasana yang penuh kasih sayang dan rasa aman, maka sedapat mungkin di bawah
asuhan serta tanggung jawab orang tua sendiri
6) Hak mendapat pendidikan agar menjadi
orang yang berguna
7) Hak mendapat proiritas pertama
memperoleh perlindungan dalam hal terjadi kecelakaan/malapetaka
8) Hak mendapat perlindungan dari segala
bentuk yang menyia-nyiakan anak, kekejaman dan penindasan
9) Hak mendapat perlindungan dari
perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi, baik rasial, agama, dan
maupun lainnya.
Taman PAUD yang tidak dapat memberikan hak-hak anak
secara benar, seharusnya segera mengubah perilakunya terhadap anak didiknya.
Namun tampaknya undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku
pendidikan, hal ini sebagaimana laporan penelitian Ibu Nur Hidayati, dkk, dari
penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan
bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan
kisaran antara 50% – 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami
hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.[7] Kekerasan anak adalah berbagai tindakan yang
dapat melukai seorang anak. Luka itu dapat disebabkan oleh kurangnya perhatian
atau pengawasan yang diperlukan, dapat juga karena pemahaman pihak madrasah
yang salah mengenai disiplin dan hukuman untuk anak. Kekerasan itu dapat
terwujud secara emosional dan fisik. Banyak kasus yang tidak terungkap karena
anak merasa bahwa pendidik berhak melakukan tindakan “kekerasan” kepada mereka,
atau mereka juga takut akan hukuman yang lebih berat lagi jika mereka membantah
atau menceritakan hal tersebut kepada orang lain[8].
Landasan Filosofis
Anak sebagai tanaman yang tumbuh, sehingga peran
pendidik atau orang tua adalah sebagai tukang kebun, dan sekolah merupakan
rumah kaca, dimana anak tumbuh dan matang sesuai dengan pola pertumbuhannya
yang wajar. Sebagai tukang kebun berkewajiban untuk menyirami, memupuk,
merawat, dan memelihara terhadap tanaman yang ada dalam kebun. Ilustrasi itu
menggambarkan bahwa sebagai pendidik haruslah melaksanakan proses pendidikan
agar mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Suatu
konsekuensi alami dari pertumbuhan dan kematangan ibarat pohon, banyak miripnya
dengan mekarnya bunga dalam kondisi yang tepat. Dapat dikatakan bahwa apa yang
akan terjadi pada anak tergantung pada pertumbuhan secara wajar dan lingkungan
yang memberi perawatan. Di dalam al-Qur’an disebutkan:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.” (QS. At
Tahrim: 6 ).
“Apabila manusia mati maka terputuslah amalannya
kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak saleh
yang mendo’akannya.”(HR. Muslim,
dari Abu Hurairah)
Landasan Psikologis
Berbagai penelitian yang dilakukan para ahli tentang
kualitas kehidupan manusia dimulai dari Binet-Simon hingga Gardner berkisar
pada fokus yang sama yaitu fungsi otak yang terkait dengan kecerdasan. Otak
yang secara fisik merupakan organ lembut di dalam kepala memiliki peran sangat
penting, selain sebagai pusat sistem saraf juga berperan dalam menentukan
kualitas kecerdasan seseorang. Oleh karena itu memacu para ahli untuk terus
menggali dan mengembangkan optimalisasi fungsi kerja otak dalam pengembangan
kualitas sumber daya manusia. Optimalisasi kecerdasan dimungkinkan apabila
sejak usia dini anak telah mendapatkan stimulasi yang tepat untuk perkembangan
otak.
Pada saat bayi dilahirkan sudah dibekali Tuhan dengan
stuktur otak yang lengkap, namun baru mencapai kematangannya setelah pengaruh
pendidikan di luar kandungan. Bayi yang baru dilahirkan memiliki lebih dari 100
milyar sel otak dan sekitar satu trilyun sel glia yang berfungsi sebagai
perekat serta synap (cabang-cabang sel otak) yang akan membentuk
sambungan antar sel otak. Sel-sel saraf ini harus rutin distimulasi dan
didayagunakan supaya terus berkembang jumlahnya. Stimulasi yang diberikan
ibarat pahatan atau ukiran yang bekerja membentuk sel-sel otak sehingga otak
dapat berkembang dengan baik.[9]
Usia dini merupakan usia yang sangat penting bagi
perkembangan anak sehingga disebut golden age. Perkembangan anak usia
dini sebenarnya dimulai Sejak pranatal. Pada saat itu, perkembangan otak
sebagai pusat kecerdasan terjadi sangat pesat. Setelah lahir, sel-sel otak
mengalami mielinasi dan membentuk jalinan yang kompleks, sehingga nantinya anak
bisa berpikir logis dan rasional. Selain otak, organ sensoris seperti
pendengar, penglihatan, penciuman, pengecap, perabaan, dan organ keseimbangan
juga berkembang pesat[10]. Sedikit demi sedikit anak dapat menyerap
informasi dari lingkungannya melalui organ sensoris dan memprosesnya
menggunakan otaknya. Perkembangan ini demikian pentingnya sehingga mendapat
perhatian yang cukup luas dari para pakar psikologi/pendidikan, yang menyatakan
bahwa pendidikan untuk anak usia dini harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak. Prinsip tersebut dinamakan praktek-praktek yang sesuai
dengan perkembangan anak (developmentally appropriate practice atau DAP)[11].
Hasenstab dan Horner mengatakan bahwa pendidikan anak
usia dini dimulai tiga tahun sampai dengan enam tahun yang sering dikatakan
sebagai pendidikan prasekolah, dan pada masa ini anak mengalami perkembangan
yang sangat pesat baik fisik, maupun psikis atau kejiwaan.[12] Sehingga pembelajaran pada masa ini bagaikan
mengukir di atas batu ”at ta’allumu fi al sighari ka al naqshi ’ala al
hajari”
Landasan Sosiologis
Dilihat dari kesempatan memperoleh pendidikan di
Indonesia baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah
menunjukkan bahwa anak usia dini yang memperoleh pelayanan pendidikan
prasekolah masih sangat rendah. Pada tahun 2002 dari sekitar 26.172.763 anak
usia 0-6 tahun di Indonesia yang mendapatkan layanan pendidikan dari berbagai
program PAUD yang ada baru sekitar 7.343.240 anak atau sekitar 28 %. Adapun
untuk usia prasekolah, yaitu usia 4-6 tahun masih terdapat sekitar 10,2 juta
(83,8%) yang belum terlayani di pendidikan prasekolah. Dari keseluruhan jumlah
anak usia 0-6 tahun yang mendapat layanan, jumlah terbesar berada di SD
kelas awal yaitu 2.641.262 anak (10 %), berikutnya melalui program Bina
Keluarga Balita sebesar 2.526.205 anak (9,6 %), TK sebesar 1.749.722 anak (6,7
%), RA sebesar 378.094 anak (1,4 %). Kelompok bermain sebesar 36.649 anak (0,1
%), dan melalui Taman Penitipan Anak sebesar 15.308 anak (0,06 %). Dari
keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa anak usia dini yang belum terlayani
pendidikan anak usia dini sebesar 19,01 juta anak (72,64 %).[13]
Rendahnya tingkat partisipasi anak mengikuti
pendidikan anak usia dini berdampak pada rendahnya sumber daya manusia
Indonesia. Menurut laporan UNDP tentang Human Development Index (HDI) pada
tahun 2005 Indonesia menempati peringkat 103 dari 173 negara, jauh di bawah
negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (59), Philipina (77), Thailand (70),
bahkan peringkat Indonesia di bawah Vietnam, sebuah negara yang baru bangkit
dan porak poranda akibat perang berkepanjangan.
Di samping itu kualitas sumber daya manusia Indonesia
yang masih rendah, diikuti juga dengan terpuruknya kualitas pendidikan di
segala bidang dan tingkatan. Berdasarkan hasil studi ”kemampuan membaca” siswa
tingkat SD yang dilaksanakan oleh International Educational Achievement
(IEA) diketahui bahwa kualitas siswa SD di Indonesia berada di urutan 36 dari
39 negara. Hasil penelitian The Third Mathematics and Sience Study Repeat
tahun 2005, kemampuan siswa di bidang IPA berada di urutan ke 31 dari 38
negara yang diteliti dan di bidang matematika berada di urutan ke 33 dari 38
negara yang diteliti.[14] Rendahnya kualitas pendidikan itu antara
lain dipengaruhi oleh input, terutama calon siswa didasarkan pada suatu
kenyataan bahwa selama ini perhatian terhadap pendidikan anak usia dini masih
sangat minim.
C. Model Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini
Anak dengan beragam potensi dan hak perlindungan yang dimilikinya,
menyadarkan kita semua akan kewajiban sebuah tempat/lembaga untuk
menumbuhkembangkan potensi anak dan memenuhi hak-hak anak secara maksimal. Ada
sepuluh hal yang akan didiskusikan disini yang menjadi ciri-ciri lembaga
pendidikan usia dini yang diharapkan dapat memenuhi hak-hak anak.
1. Lingkungan yang Kondusif
Taman Pendidikan Anak Usia Dini merupakan lembaga
pendidikan non formal pada umumnya bersumber dari sebuah lembaga swadaya
masyarakat. Oleh karena itu dukungan dari semua stakeholders (seluruh
warga sekolah, komite sekolah, yayasan, dan wali murid, serta tokoh masyarakat
sekitar dan ahli pendidikan), merupakan kunci pembuka kesuksesan dalam
pendidikan. Adanya komunikasi dialogis di antara mereka, untuk saling
memikirkan dan memusyawarahkan tentang semua hal yang berkaitan dengan program
pendidikan, terutama yang berhubungan dengan pemenuhan hak anak baik fisik
maupun non fisik adalah suatu keharusan. Lingkungan belajar yang aman dan
menyenangkan meliputi tempat bermain, kelas yang kondusif, pelayanan kesehatan
dengan segala sarana dan prasarananya harus dipersiapkan.
Hubungan Taman PAUD dengan orang tua anak juga harus
dibangun secara dialogis, dengan cara membuka konsultasi tentang problema
pendidikan anak setiap hari, disamping juga mengadakan pertemuan rutin setiap
satu bulan antara orang tua dan guru. Pertemuan tersebut dapat digunakan
sebagai forum sosialisasi kebijakan, baik kebijakan intern lembaga, kebijakan
dari pemerintah, maupun instansi lain yang berhubungan dengan pendidikan anak.
Sehingga hubungan dialogis antara lembaga pendidikan dan orang tua, bahkan
seluruh stakeholders menjadi sangat penting untuk terus dibudayakan.
2. Sistem Perencanaan
Membangun sebuah Taman PAUD harus disertai dengan
sistem perencanaan yang menjamin mutu program pendidikannya. Dalam perencanaan
tersebut sudah harus tergambar secara keseluruhan program pendidikan yang dapat
mengantarkan anak didik ke jenjang pendidikan selanjutnya. Perencanaan
yang semacam ini tentu saja tidak dapat dilakukan oleh pihak Taman PAUD sendiri
tanpa melibatkan seluruh stakeholders. Terutama orang tua anak, sebab mereka
yang paling berkepentingan untuk menumbuhkembangkan anaknya sesuai dengan
potensi, bakat, minat, dan kesanggupan yang dimilikinya. Oleh karena itu, pihak
Taman PAUD harus secara cermat dan matang mempertimbangkan semua masukan dari
seluruh stakekolders, dan yang paling harus dipertimbangkan adalah “kepentingan
terbaik bagi anak” yang telah disuarakan baik melalui undang-undang
perlindungan anak maupun melalui deklarasi PBB tentang hak anak.
Dalam melaksanakan program-program yang telah
direncanakan haruslah dengan niat ikhlas, maksudnya niat ketulusan hati atau
etikat yang jelas dan murni dalam melaksanakan tugas disertai niat lillahi
rabbil ‘alamin, berarti tumbuhnya kesadaran untuk berbuat demi memajukan
kebaikan di atas prinsip pengabdian semata-mata karena Allah.
3. Harapan Prestasi Akademik
Harapan terhadap prestasi akademik dapat dilihat dalam
beragam aktifitas yang dilakukan oleh pihak TP-PAUD. Misalnya para guru
berupaya keras membelajarkan para siswanya dengan beragam strategi
pembelajaran. Jika mereka merasa belum berhasil dengan strategi tertentu, maka
mereka melakukan remidi dengan mencoba strategi lain yang lebih efektif.
Contoh lain adanya harapan prestasi akademik adalah
kegiatan out bond bagi siswa menempa anak didik untuk belajar secara
mandiri. Mereka dilatih merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi sendiri
aktivitas belajar mereka sehari-hari. Hal ini dimaksudkan agar mereka terbiasa
memotivasi dirinya sendiri untuk belajar. Mereka sadar memperbaiki sendiri
kekurangan dirinya yang dapat menghambat proses belajarnya. Dalam kegiatan
tersebut mereka juga diyakinkan bahwa mereka memiliki potensi yang dapat tumbuh
dan berkembang secara baik, jika diupayakan secara maksimal.
Di samping itu, penghargaan terhadap prestasi siswa
juga harus dilakukan. Penghargaan terhadap prestasi siswa tidak harus berupa
hadiah yang berbentuk barang, piala, ataupun piagam penghargaan, tetapi dapat
berbentuk perilaku. Seperti pujian, acungan jempol, tepukan punggung, dll, atau
dengan stiker yang murah. Setiap guru saling berlomba mengasah dan
menumbuhkembangkan kreatifitas siswa, kemudian merayakannya dengan cara
memamerkan karya tersebut, sehingga siapapun yang lewat di depan kelas apalagi
masuk ke dalam kelas, akan tersenyum dan bangga melihat kreatifitas
siswa.
4. Keefektifan Guru
Guru yang efektif adalah guru yang peduli dan berupaya
meningkatkan kualitas diri, guru yang komunikatif baik dengan siswa, orang tua
siswa, dan teman sejawat, bahkan dengan pimpinan madrasah, juga guru yang
berhasil menciptakan suasana pembelajaran aktif, kretatif, efektif, dan
menyenangkan karena menggunakan beragam strategi dalam peroses pembelajaran,
juga terampil menggunakan media pembelajaran. Reni Akbar dalam bukunya yang
berjudul Psikologi Perkembangan Anak memaparkan kriteria guru efektif
antara lain: Guru yang dapat berperan sebagai seorang manager yang baik, selalu
mengharapkan siswanya sukses, memberi materi ajar sesuai dengan kapasitas
muridnya, memberikan umpan balik, memberikan tes yang adil, menjelaskan
kriteria penilaiannya, mau merangsang daya nalar anak, dapat membantu anak
menyadari pertumbuhan kompetensi dan penguasaannya terhadap
materi/keahlian/ketrampilan tertentu, mampu bersikap empati, menilai
pengetahuan di atas nilai[15].
Guru PAUD
memberikan layanan pendidikan kepada anak usia lahir-6 tahun. Sampai dengan
usia 3 (tiga) tahun pengasuhan dan pendidikan ini lebih diperankan oleh orang
tuanya. Agar pengasuhan yang dilakukan dalam keluarga berjalan sesuai dengan
perkembangan anak, berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat, seperti adanya Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Bina
Keluarga Balita (BKB), Satuan PAUD Sejenis (SPS) yang mencoba membantu
keluarga mengidentifikasi perkembangan anaknya dan memberikan intervensi dini
jika diperlukan. Pada usia 3 (tiga) tahun, anak-anak sudah mulai memasuki
dunia yang lebih luas, yaitu Kelompok Bermain, dan pada usia 4 (empat) tahun
mereka memasuki pendidikan PAUD formal berupa TK/RA. Dengan meluasnya
lingkungan anak dari keluarga ke Kelompok Bermain dan kemudian ke TK,
tidaklah berarti bahwa anak-anak ini sudah siap lepas dari orang tua atau
pengasuhnya. Pemandangan yang sering tampak di KB atau TK, khususnya pada
bulan-bulan pertama, adalah
|
banyaknya
orang tua/pengasuh yang menunggui anaknya dan ikut duduk bersama
anak-anaknya. Hal ini terjadi karena anak-anak ini belum siap berpisah dari
orang tua/pengasuhnya, meski untuk waktu yang sangat singkat. Maka tidaklah
mengherankan jika kelas KB atau TK selalu penuh sesak, bukan hanya oleh
anak-anak, tetapi juga oleh orang tua atau pengasuh anak.
|
Sehubungan
dengan kondisi yang dipaparkan di atas, seorang guru PAUD, harus memahami
benar konteks kerjanya, yaitu mendidik anak usia lahir-6 tahun, sebagai tugas
utama. Dia juga harus mampu menjalin komunikasi yang positif dengan para
orang tua/pengasuh, di samping tugas utamanya untuk mengasuh/mendidik
anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu, seorang guru PAUD
harus memahami dengan benar peta perkembangan anak mulai dari usia sejak lahir
sampai 6 (enam) tahun. Ia harus memahami benar bahwa setiap anak merupakan
individu yang unik dengan potensi yang dapat dikembangkan secara optimal.
Pemahaman ini akan sangat bermanfaat baginya dalam menyediakan berbagai
kegiatan bermain sambil belajar yang mampu menstimulasi bertumbuh-kembangnya
potensi yang dimiliki anak. Ia juga diharapkan mampu menilai apakah berbagai
kegiatan bermain sambil belajar yang disediakannya mempunyai dampak positif
bagi perkembangan potensi anak. Berdasarkan hasil penilaian tersebut guru
PAUD harus mampu melakukan penyesuaian terus menerus sehingga kegiatan
bermain sambil belajar yang diupayakannya makin berdampak positif bagi
perkembangan anak.
|
5. Kepemimpinan
Kepemimpinan Taman PAUD harus mengacu pada penataan
sistem managemen, administrasi, sistem perencanaan, sampai pada penataan sistem
evaluasi program. Seorang kepala Taman PAUD harus mampu mempengaruhi para
warganya untuk menciptakan suasana baru dan semangat baru untuk melakukan
perubahan membangun Taman PAUD yang berkualitas.
Kepala Taman PAUD harus merespon positif semua
kegiatan yang menunjang kegiatan pembelajaran dan peningkatan kualitas belajar
anak, yakni pembelajaran yang dapat meningkatkan kecerdasan sosial, kecerdasan
emosional, juga kecerdasan spiritual anak.
Visi dan misi Taman PAUD harus mengilhami setiap
kebijakan pimpinan. Dan kebijakan tersebut juga harus mampu mempengaruhi
kreatifitas guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran.
6. Ganjaran dan Insentif
Sistem penghargaan dan insentif di TP-PAUD sudah
seharusnya berdasarkan pada prestasi, latar belakang pendidikan, maupun
kinerjanya, bukan berbasis pemerataan. Sistem ini tidak hanya berlaku pada gaji
pokok dan tunjangan wali kelas, semua insentif yang diterima, baik karena
melaksanakan tugas rutin maupun tugas insidental harus mempertimbangkan hal-hal
tersebut.
Selama ini yang berkembang di sekolah/madrasah –diakui
atau tidak- penentuan dan kenaikan gaji hanya berdasarkan masa kerja, tidak ada
pertimbangan yang lain. Antara yang kreatif dan tidak, antara yang berprestasi
dengan yang tidak, antara yang produktif dengan yang tidak, tidak ada perbedaan
penghargaan yang cukup signifikan terkait dengan peningkatan jenjang karier dan
insentif yang mereka terima. Perbedaan penghargaan hanya berdasarkan masa
kerja. Latar belakang pendidikan juga tidak menjadi bahan pertimbangan dalam
memberikan penghargaan.
Model insentif semacam ini, seharusnya mulai dipikir
ulang oleh lembaga pendidikan. Sebab insentif yang diberikan tidak sesuai
dengan kerja yang dihasilkan lambat laun akan menimbulkan masalah, misalnya
penurunan etos kerja. Jika lembaga pendidikan tidak ingin kehilangan etos kerja
para warganya, sebaiknya sesegera mungkin mengubah model insentif dengan cara
berbasis kinerja.
7. Tata Tertib dan Kedisiplinan
Sebuah kelemahan yang harus disadari dan segera
diperbaiki oleh TP-PAUD adalah masalah tata tertib dan kedisiplinan di TP-PAUD.
Tata tertib dan kedisiplinan bagi anak didik biasanaya sudah tertata rapi dan
dengan tegas sudah disosialisasikan baik kepada orang tua maupun kepada anak
didik.
Tetapi tata tertib dan kedisiplinan untuk warga
lembaga pendidikan yang lain, pimpinan, guru dan staff administrasi, biasanya
belum ada aturan tegas yang mengatur kinerja mereka. Mereka hanya diatur dengan
job diskripsi untuk masing-masing unit kerja. Kalaupun ada aturan yang
mereka sepakati, tidak ada sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Yang berlaku
hanya sanksi moral saja, itupun bagi yang merasa, bagi yang tidak merasa mendapatkan
sanksi moral, tetap saja bertindak sesuai dengan kemauannya sendiri. Sehingga,
seringkali komitmen yang dibangun dan disepakati bersama tidak dapat
dilaksanakan dengan baik, karena tidak ada pengaruh apa-apa terhadap karier
mereka. Antara yang disiplin dengan yang tidak, tidak ada hukuman yang secara
tegas membedakan mereka.
Kondisi semacam ini seharusnya diwaspadai oleh setiap
TP-PAUD, jika tidak ingin kehilangan semangat para warganya untuk meningkatkan
kualitas kinerjanya. Sebab tidak mustahil mereka yang semula kreatif, aktif,
produktif, dan disiplin akan berubah total karena apa yang dilakukannya tidak
mendapatkan penghargaan yang sebanding dengan yang dilakukan. Di sisi lain
mereka yang pasif, tidak memiliki ide, dan tidak disiplin akan tenang-tenang
saja, karena tidak merasa melakukan pelanggaran apa-apa dan tidak mendapat
hukuman apa-apa. Jika kondisi semacam ini sudah muncul, maka untuk membangun
semangat yang sudah pernah berkobar akan sulit dinyalakan kembali dan
membutuhkan ekstra tenaga dan pikiran untuk mengembalikannya.
Sebelum terjadi yang demikian seharusnya Taman PAUD
mulai berpikir keras untuk merumuskan tata tertib dan pola kedisiplinan yang
akan diterapkan. Tata tertib dan pola kedisiplinan tersebut dirumuskan dan
disepakati bersama melalui forum diskusi yang dilakukan secara serius
dengan stakeholders.
8. Pelaksanaan Pembelajaran Kreatif
Bermain merupakan wahana belajar untuk mengeksplorasi
lingkungan yang dapat mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, dan
sosial-emosional anak. Di samping itu, bermain juga mengembangkan individu agar
memiliki kebiasaan-kebiasaan baik, seperti tolong-menolong, berbagi, disiplin,
berani mengambil keputusan dan bertanggungjawab. Bermain dapat mengembangkan
kemampuan berimajinasi dan bereksplorasi. Oleh karena itu, pendidik PAUD perlu
memahami makna bermain agar mampu mengembangkan permainan dan menciptakan
suasana yang mengundang keasyikan bermain yang mendorong anak belajar. Guru
perlu menyiapkan lingkungan kegiatan bermain yang bermakna, aman, nyaman dan
dapat menarik minat anak untuk belajar secara alami. Pada saat anak
melaksanakan beragam permainan dan bermain dengan berbagai media, guru
berpartisipasi dan berinteraksi untuk meningkatkan kemampuan berpikir anak, di
samping memberi penguatan dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu, alat
permainan edukatif merupakan salah satu komponen pokok dalam program pendidikan
anak usia dini.
Tahapan bermain mencakup bermain soliter, parallel,
kooperatif, dan bermain peran. Jenis permainanpun beragam, seperti permainan
motorik, asosiatif/sosial, konstruktif, kooperatif, bermain peran, dan bermain
dengan aturan. Suasana bermain untuk pembentukan kepribadian dapat dibedakan
menjadi: 1) bebas, (2) terpimpin, dan (3) sesuai minat anak dengan bantuan
guru. Pada suasana bermain bebas, pilihan kegiatan dipersiapkan guru, sedangkan
anak bebas memilih permainan yang disukai. Bagi sebagian anak, suasana bebas
ini sangat sesuai dan memicu pertumbuhan kepribadiannya, sedangkan sebagian
anak lainnya, suasana seperti ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. Suasana
bermain terpimpin, kegiatan ditentukan oleh guru, sehingga membuat anak
menunggu dan tidak mandiri. Tampaknya disiplin terkendali, namun kebebasan
untuk berekspresi kurang mendapat keleluasaan. Suasana bermain sesuai minat
anak dengan bantuan guru memberi kesempatan kepada anak untuk memilih permainan
sesuai dengan minatnya. Guru mempersiapkan pusat minat dan area serta berfungsi
sebagai fasilitator.
Untuk memaksimalkan pengaruh jiwa anak metode
pembelajaran dapat dilakukan dengan: modelling, menanamkan rasa bangga,
berpikir positif, dan menghindari kritik.
Modelling; bila manusia menemukan model yang tepat, ia akan
berusaha menjadi model itu. Ia perlahan-lahan akan mengalami perubahan secara
ruhaniah dan jasmaniah, mendekati orang yang menjadi model itu. Ketika ada
manusia yang sanggup melakukan sesuatu, manusia lainpun berpikir sama. Mereka
berpikir bila orang lain mampu, mengapa mereka tidak. Pikirannya mempengaruhi
kekuatan fisiknya. You don’t think what you are. You are what you think.[16]
Menanamkan rasa bangga; adalah David McCleland yang
menunjukkan adanya hubungan antara rasa bangga dengan hasrat berprestasi.
Bangsa-bangsa yang berhasil membangun peradaban adalah mereka yang merasa
menjadi manusia istimewa. McCleland menyebut gerakan Reformasi dan
Protestanisme yang disertai dengan keyakinan sebagai umat pilihan. Kita
sekarang paham mengapa al-Qur’an mengingatkan pemeluk Islam bahwa antum
al-a’laun, kuntum khaira ummatin, dsb. Atau Nabi Saw. Yang mendidik
sahabat-sahabatnya untuk tidak merendah di hadapan orang-orang kafir.
Dalam hubungan dengan pendidikan, pendidik harus
berhasil menanamkan pada anak-anak didiknya bahwa mereka bukan sembarang orang,
mereka adalah the selected few. Secara praktis, guru dapat mengembangkan
rasa bangga.
Berpikir positif; mempunyai pandangan yang positif tentang anak, apa
yang dikerjakan, dipikirkan, dan dibicarakan anak adalah sesuatu yang harus
didengar dan direspon positif. Berpikir positif juga mempunyai ekspektasi yang
baik dan berusaha mewujudkannya. What you think about, comes about.
Konon, Henry Ford berkata: ”whether you think you can or think you
cannot-you’re right!”
Hindari kritik. Ketika seorang anak kecil berjalan, ia terjatuh
beberapa kali. Tiada seorang dewasapun yang menegurnya, ”Hai, bodoh betul
kamu”. ”Salah, bukan begitu caranya”, atau ”Memang kamu sulit belajar?”,
orang-orang dewasa menggembirakannya, mondorongnya, dan memberi semangat
kepadanya. Dalam satu tahun, anak ini sudah sanggup berjalan, sebuah gerak yang
sangat kompleks baik secara fisik maupun neurologis.
Dalam dua tahun, anak mulai belajar berbahasa. Dalam
lima tahun, mereka mengetahui 90 % dari semua kata yang biasanya dipergunakan
oleh orang-orang dewasa. Semuanya diperoleh tanpa mempelajari buku tata bahasa
atau kurikulum yang sistematik.
Tetapi begitu anak masuk sekolah, mulailah ia
mendengar orang-orang dewasa mengkritiknya, memberikan komentar yang tidak
sedap tentang prestasinya. Tahun 1982, Jack Canfield, psikolog ahli self-esteem,
menemukan bahwa dalam satu hari rata-rata setiap anak menerima komentar yang
negatif dan 75 komentar positif. Terdapat enam kali lebih banyak komentar
negatif daripada komentar positif. Setelah beberapa tahun di sekolah,
terjadilah learning shutdown, yang menguras banyak tenaga kreatif
manusia.[17]
9. Tertib Administrasi
Adanya penataan administrasi yang rapi akan
menghasilkan segala sesuatunya dalam lembaga menjadi transparan, terbuka,
terhadap permasalahan baik internal maupun eksternal. Lebih-lebih jika
permasalahan yang menyangkut keuangan, agar lebih transparan dan diterima oleh
masyarakat. Penataan administrasi yang rapi akan menumbuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap suatu lembaga.
10. Net-working
Untuk meningkatkan kualitas Taman PAUD dalam skala
yang lebih luas perlu dirintis dan direalisasikan net-working dengan mitra
kerja berskala nasional dan internasional, baik dengan lembaga pemerintah
maupun dengan lembaga non pemerintah (NGO) atau dengan lembaga dana
internasional (founding) yang memiliki komitmen dengan pengembangan PAUD
di Indonesia.
Agar upaya untuk melakukan net-working tersebut
berjalan secara serius dan professional, maka dipandang perlu untuk
dibentuk tim khusus bersifat non-struktural yang bertugas sebagai “penggodok
ide dan gagasan net-working”, atau bahkan bila dipandang perlu tim ini juga
dapat berfungsi sebagai semacam “Tim Lobi atau Negoisator” terhadap berbagai
mitra kerja yang memungkinkan diajak kerjasama dalam pengembangan PAUD.
D. SIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat diambil dua (2)
simpulan:
1. Penyelenggaraan
program Pendidikan Anak Usia Dini melalui jalur pendidikan formal maupun non
formal telah difasilitasi oleh pemerintah dan bebas dilaksanakan oleh masyarakat
berdasarkan undang-undang yang telah digariskan oleh pemerintah. Hal tersebut
untuk membantu orang tua dalam menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan potensi,
bakat, minat dan taraf kesanggupannya. Hal itu sebagaimana yang dianjurkan
Islam untuk mempersiapkan generasi yang berkualitas yang kelak akan menjadi
insan kamil, sukses hidup di dunia dan akherat.
2. Model Pengembangan
Taman Pendidikan Anak Usia Dini meliputi kriteria sebagai berikut: Lingkungan
yang kondusif, Sistem perencanaan melibatkan seluruh stakeholder, Harapan yang
tinggi terhadap prestasi akademik, Keefektifan guru, Kepemimpinan yang
instruksional yang berorientasi pada prestasi akademik, Ganjaran dan
insentif berbasis kinerja, tata tertib dan disiplin yang baik, pelaksanaan
pembelajaran yang kreatif, tertib administrasi, dan mengadakan net-working
dengan mitra kerja berskala nasional dan internasional, baik dengan lembaga
pemerintah maupun dengan lembaga non pemerintah (NGO) atau dengan lembaga dana
internasional (founding) yang memiliki komitmen dengan pengembangan PAUD
di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan
Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. 1, 1990
Depdiknas, Kurikulum Hasil belajar Pendidikan Anak
Usia Dini, Jakarta: Depdiknas, 2002.
Fasli Jalal, “Peran Pendidikan Non Formal dalam
Pembangunan Manusia Indonesia yang Cerdas dan Bermutu”, dalam seminar
Sosialisasi Pendidikan Non Formal, Universitas Negeri Yogyakarta, 2006.
Gardner, H. Frame of Mind: the Theory of Multiple
Intelligences . New York: Basic Books, 1993
Hasenstab, Comprehensive Intervention with
Hearing-Impaired Infants and Preschool Children, London: An Aspen
Publication, 1982
http://www.whitehouse.gov/infocus/earlychild-hood/sect2.html.
Jalaluddin Rakhmat, SQ for Kids; Mengembangkan
Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini, Bandung: Mizan, 2007
Keppres No. 36 tahun 1990
Mansur, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses
Pendidikan, Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet. 2, 2004
Nur Hidayati, dkk. 2007. Memperkecil Kekerasan
Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen Agama.
Pepak, “Kekerasan pada Anak”,
http://pepak.sabda.org/pustaka/061184/13/7/2006
Reni Akbar-Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak Mengenal
Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak Jakarta: Grasindo, 2001
Tim Media, Himpunan Undang-Undang , Surabaya:
Media Centre, 2006
Amandemen UUD 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
[1] Depdiknas, Kurikulum Hasil belajar
Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Depdiknas, 2002), 3-4.
[2] Mansur, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia
Dini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 89.
[3] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan
Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet. 2, 2004),
92
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi
dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. 1,
1990), 55-56.
[5] http://www.whitehouse.gov/infocus/earlychild-hood/sect2.html.
[6] Tim Media, Himpunan Undang-Undang (Surabaya:
Media Centre, 2006), 102
[7] Nur Hidayati, dkk. 2007. Memperkecil
Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen
Agama. 24.
[8] Pepak, “Kekerasan pada Anak”, http://pepak.sabda.org/pustaka/061184/13/7/2006
[9] Mansur, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia
Dini, 98.
[10] Gardner, H. Frame of Mind: the Theory of
Multiple Intelligences .( New York: Basic Books, 1993), 23.
[11] Ibid
[12] Hasenstab, Comprehensive Intervention
with Hearing-Impaired Infants and Preschool Children, (London: An Aspen
Publication, 1982), 122.
[13] Fasli Jalal, “Peran Pendidikan Non Formal
dalam Pembangunan Manusia Indonesia yang Cerdas dan Bermutu”, dalam seminar
Sosialisasi Pendidikan Non Formal, Universitas Negeri Yogyakarta, 2006.
[14] Ibid
[15] Reni Akbar-Hawadi, Psikologi Perkembangan
Anak Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak (Jakarta: Grasindo,
2001), 96.
[16] Jalaluddin Rakhmat, SQ for Kids;
Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini, (Bandung: Mizan, 2007),
28.
[17] Ibid, 44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar