Selasa, 15 Mei 2012

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM


PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Eni Purwati

A. Pendahuluan
Mencetak generasi unggul dan ”sukses hidup” di tengah persaingan global dapat dilakukan dengan jalan menyelenggarakan pendidikan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, bakat, minat dan kesanggupannya. Menyelenggarakan pendidikan yang membebaskan anak dari tindak kekerasan. Menyelenggarakan pendidikan yang memperlakukan anak dengan ramah. Menyelenggarakan pendidikan yang memanusiakan anak. Menyelenggarakan pendidikan yang memenuhi hak-hak anak. Hal tersebut akan terwujud jika pendidikan yang demikian dilakukan sejak anak usia dini.
Islam sangat memperhatikan pemeliharaan hidup dan kehidupan manusia sejak dini. Perhatian itu melebihi perhatian apa pun yang ada pada undang-undang yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Islam sangat memperhatikan anak-anak pada setiap fase kehidupan mereka. Bahkan Islam memperbolehkan seorang ibu yang hamil membatalkan puasanya, jika itu dikhawatirkan dapat membahayakan janin atau anaknya yang sedang dikandung atau disusuinya. Semua itu membuktikan bahwa Islam sangat menghargai keberadaan hidup dan kehidupan manusia semenjak manusia berupa janin sampai manusia menjadi besar dan dewasa. Oleh karena itu, pendidikan harus diberikan manusia semenjak usia dini. Karena pendidikan yang dimulai sejak usia dini mempunyai daya keberhasilan yang tinggi dalam menentukan tumbuh-kembang kehidupan anak selanjutnya.
Namun yang menjadi permasalahan adalah pendidikan usia dini yang bagaimanakah yang dapat mengembangkan potensi fitrah manusia sebagai hamba Allah di dunia dan khalifatullah di muka bumi? Melalui makalah yang berjudul “Model Pengembangan Pendidikan Usia Dini dalam Perspektif Pendidikan Islam” ini, penulis mencoba membahas permasalahan pendidikan usia dini dalam dua poin yang saling berkaitan, dengan mengkaji dari segi fondasional dan operasional pendidikan Islam, yaitu: (1) Dasar-dasar Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini; (2) Model Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dalam Perspektif Islam. Poin pertama bertujuan untuk menganalisis landasan fondasional yang berkaitan dengan proses pendidikan usia dini; kemudian poin kedua mencoba menjabarkan secara operasional pengembangan pendidikan usia dini dari perspektif pendidikan Islam. Bahasan itu akan digali dengan mengkaji, menganalisis dan membandingkan berbagai literatur yang ada korelasinya dengan judul makalah di atas, disamping itu penyempurnaannya diharapkan dari berbagai masukan dalam diskusi mata kuliah “Pengembangan Pendidikan Islam: Kajian Fondasional dan Operasional”.
B. Dasar-dasar Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini
1.      Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini
Sebelum dibicarakan tentang pendidikannya terlebih dahulu akan dibahas tentang anak usia dini. Yang dimaksud Anak Usia Dini adalah sebagai berikut:[1]Anak usia dini adalah kelompok manusia yang berusia 0-6 tahun ( di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Menurut para pakar pendidikan anak, yaitu kelompok manusia yang berusia 0-8 tahun. Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, dalam arti memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan prilaku serta agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak. Berdasarkan keunikan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, anak usia dini terbagi dalam empat tahapan, yaitu: (a) masa bayi lahir sampai 12 bulan, (b) masa balita usia 1-3 tahun, (c) masa prasekolah usia 3-6 tahun, (d) masa kelas awal SD 6-8 tahun. Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini perlu diarahkan pada peletakan dasar-dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya, yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik, daya pikir, daya cipta, sosial emosional, bahasa dan komunikasi yang seimbang sebagai dasar pembentukan pribadi yang utuh.
Setelah diketahui pengertian Anak Usia Dini, berikut dipaparkan tentang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD adalah suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir hingga enam tahun secara menyeluruh, yang mencakup aspek fisik maupun non fisik, dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan jasmani, rohani (moral dan spiritual), motorik, akal pikir, emosional dan sosial yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Adapun upaya yang dilakukan mencakup stimulasi intelektual, pemeliharaan kesehatan, pemberian nutrisi, dan penyediaan kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi dan belajar secara aktif. Dengan demikian, PAUD dapat dideskripsikan sebagai berikut: Pertama, upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh, dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan ketrampilan pada anak. Kedua, merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan prilaku serta agama), bahasa dan komunikasi. Ketiga, sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan, PAUD disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.[2]
Pendidikan usia dini dalam perspektif pendidikan Islam adalah usaha membantu anak agar fitrah (QS. 30:30) yang disebut dengan kecakapan/ability baik fisik maupun non fisik[3] itu dapat dibantu perkembangannya sejak dini. Pendidikan usia dini dapat dimaknakan sebagai semua proses yang mengarah pada bantuan pemeliharaan jiwa manusia untuk selalu berada dalam kemaslahatan hidup baik di dunia maupun di akhirat, dan membantu agar fitrah yang merupakan kecakapan potensial yang dibawa sejak kelahirannya dapat berkembang secara maksimal sesuai dengan ketentuan dalam shari’at Islam.
Di samping itu, salah satu misi sentral Nabi SAW adalah peningkatan kualitas SDM secara utuh baik jasmani maupun rohani, yaitu mendidik manusia, memimpin mereka ke jalan Allah, dan mengajarkan untuk menegakkan masyarakat yang adil, sehat, harmonis, sejahtera baik material maupun spiritual. Nabi SAW diutus untuk mengembangkan kualitas kehidupan manusia: mensucikan moral manusia, membekalinya dengan segala sesuatu yang diperlukan untuk menghadapi kehidupan di dunia dan diakhirat (QS. 34: 28; 21: 107). Misi kependidikan pertama Nabi SAW adalah menanamkan aqidah yang benar, yaitu aqidah tawhid, memahami seluruh fenomena alam dan kemanusiaan sebagai suatu kesatuan, suatu yang holistik. Dalam kerangka tawhid, SDM adalah manusia yang memiliki kualitas yang seimbang: beriman, berilmu, dan beramal; cakap lahir dan batin; berkualitas secara emosional, rasional, dan sosial/memiliki EQ, IQ, dan SQ yang tinggi.[4]
2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini memiliki fungsi utama mengembangkan semua aspek perkembangan anak, meliputi perkembangan kognitif, bahasa, fisik (motorik kasar dan halus), sosial dan emosional. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara perkembangan yang dialami anak pada usia dini dengan keberhasilan mereka dalam kehidupan selanjutnya. Misalnya, anak-anak yang hidup dalam lingkungan (baik di rumah maupun di KB atau TK) yang kaya interaksi dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar akan terbiasa mendengarkan dan mengucapkan kata-kata dengan benar, sehingga ketika mereka masuk sekolah, sudah mempunyai modal untuk membaca.[5]
Sehubungan dengan fungsi-fungsi di atas, maka tujuan pendidikan anak usia dini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       memberikan pengasuhan dan pembimbingan yang memungkinkan anak usia dini  tumbuh dan berkembang sesuai dengan usia dan potensinya.
b.      Mengidentifikasi penyimpangan yang mungkin terjadi, sehingga jika terjadi penyimpangan, dapat dilakukan intervensi dini.
c.       Menyediakan pengalaman yang beraneka ragam dan mengasyikkan bagi anak usia dini, yang memungkinkan mereka mengembangkan potensi dalam berbagai bidang, sehingga siap untuk mengikuti pendidikan pada jenjang selanjutnya (SD/MI)
3.      Landasan Pendidikan Anak Usia Dini
Landasan Yuridis (Hukum)
Penyelenggaraan PAUD merupakan pengejawentahan dari:
a.       Amandemen UUD 1945 pasal 28 b ayat 2, yaitu: ”Negara menjamin kelangsungan hidup, pengembangan dan perlindungan anak terhadap eksploitasi dan kekerasan”
b.      Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36 tahun 1990 yang mengandung kewajiban negara untuk memenuhi hak anak.
c.       UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana PAUD dibahas dalam bagian ke tujuh pasal 28 yang terdiri dari 6 ayat, yang intinya bahwa PAUD meliputi semua pendidikan anak usia dini apapun bentuknya, dimanapun diselenggarakannya, dan siapapun yang menyelenggarakannya.
d.      Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:
1)      bagian ketiga ”Pendidikan” pasal 40 yang menegaskan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan yang diberikan oleh negara, pemerintah, keluarga, maupun orang tua terhadap anak, harus diarahkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a)      pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, dan kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal
b)      pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi
c)      pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, darimana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda dari peradaban sendiri
d)     persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjawab
e)      pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
2)      pasal 4 yang berbunyi: ”setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
3)      Pasal 10 berbunyi: ”setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”.
4)      Pasal 11 berbunyi: ”setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”.
5)      Pasal 13 berbunyi: ”setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a)      diskriminasi
b)      eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c)      penelantaran
d)     kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e)      ketidakadilan, dan
f)       perlakuan salah lainnya
e. Deklarasi PBB tentang hak-hak anak memuat hal-hal sebagai berikut[6]:
1)      Hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar, dalam keadaan bebas dan bermartabat
2)   Hak memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir
3)   Hak mendapat jaminan sosial, termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan
4)   Hak memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus jika terdapat cacat tubuh
5)   Hak untuk tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih sayang dan rasa aman, maka sedapat mungkin di bawah asuhan serta tanggung jawab orang tua sendiri
6)   Hak mendapat pendidikan agar menjadi orang yang berguna
7)   Hak mendapat proiritas pertama memperoleh perlindungan dalam hal terjadi kecelakaan/malapetaka
8)   Hak mendapat perlindungan dari segala bentuk yang menyia-nyiakan anak, kekejaman dan penindasan
9)   Hak mendapat perlindungan dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi, baik rasial, agama, dan maupun lainnya.
Taman PAUD yang tidak dapat memberikan hak-hak anak secara benar, seharusnya segera mengubah perilakunya terhadap anak didiknya. Namun tampaknya undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan penelitian Ibu Nur Hidayati, dkk, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% – 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.[7] Kekerasan anak adalah berbagai tindakan yang dapat melukai seorang anak. Luka itu dapat disebabkan oleh kurangnya perhatian atau pengawasan yang diperlukan, dapat juga karena pemahaman pihak madrasah yang salah mengenai disiplin dan hukuman untuk anak. Kekerasan itu dapat terwujud secara emosional dan fisik. Banyak kasus yang tidak terungkap karena anak merasa bahwa pendidik berhak melakukan tindakan “kekerasan” kepada mereka, atau mereka juga takut akan hukuman yang lebih berat lagi jika mereka membantah atau menceritakan hal tersebut kepada orang lain[8].
Landasan Filosofis
Anak sebagai tanaman yang tumbuh, sehingga peran pendidik atau orang tua adalah sebagai tukang kebun, dan sekolah merupakan rumah kaca, dimana anak tumbuh dan matang sesuai dengan pola pertumbuhannya yang wajar. Sebagai tukang kebun berkewajiban untuk menyirami, memupuk, merawat, dan memelihara terhadap tanaman yang ada dalam kebun. Ilustrasi itu menggambarkan bahwa sebagai pendidik haruslah melaksanakan proses pendidikan agar mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Suatu konsekuensi alami dari pertumbuhan dan kematangan ibarat pohon, banyak miripnya dengan mekarnya bunga dalam kondisi yang tepat. Dapat dikatakan bahwa apa yang akan terjadi pada anak tergantung pada pertumbuhan secara wajar dan lingkungan yang memberi perawatan. Di dalam al-Qur’an disebutkan:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6 ).
“Apabila manusia mati maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak saleh yang mendo’akannya.”(HR. Muslim, dari Abu Hurairah)
Landasan Psikologis
Berbagai penelitian yang dilakukan para ahli tentang kualitas kehidupan manusia dimulai dari Binet-Simon hingga Gardner berkisar pada fokus yang sama yaitu fungsi otak yang terkait dengan kecerdasan. Otak yang secara fisik merupakan organ lembut di dalam kepala memiliki peran sangat penting, selain sebagai pusat sistem saraf juga berperan dalam menentukan kualitas kecerdasan seseorang. Oleh karena itu memacu para ahli untuk terus menggali dan mengembangkan optimalisasi fungsi kerja otak dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia. Optimalisasi kecerdasan dimungkinkan apabila sejak usia dini anak telah mendapatkan stimulasi yang tepat untuk perkembangan otak.
Pada saat bayi dilahirkan sudah dibekali Tuhan dengan stuktur otak yang lengkap, namun baru mencapai kematangannya setelah pengaruh pendidikan di luar kandungan. Bayi yang baru dilahirkan memiliki lebih dari 100 milyar sel otak dan sekitar satu trilyun sel glia yang berfungsi sebagai perekat serta synap (cabang-cabang sel otak) yang akan membentuk sambungan antar sel otak. Sel-sel saraf ini harus rutin distimulasi dan didayagunakan supaya terus berkembang jumlahnya. Stimulasi yang diberikan ibarat pahatan atau ukiran yang bekerja membentuk sel-sel otak sehingga otak dapat berkembang dengan baik.[9]
Usia dini merupakan usia yang sangat penting bagi perkembangan anak sehingga disebut golden age. Perkembangan anak usia dini sebenarnya dimulai Sejak pranatal. Pada saat itu, perkembangan otak sebagai pusat kecerdasan terjadi sangat pesat. Setelah lahir, sel-sel otak mengalami mielinasi dan membentuk jalinan yang kompleks, sehingga nantinya anak bisa berpikir logis dan rasional. Selain otak, organ sensoris seperti pendengar, penglihatan, penciuman, pengecap, perabaan, dan organ keseimbangan juga berkembang pesat[10]. Sedikit demi sedikit anak dapat menyerap informasi dari lingkungannya melalui organ sensoris dan memprosesnya menggunakan otaknya. Perkembangan ini demikian pentingnya sehingga mendapat perhatian yang cukup luas dari para pakar psikologi/pendidikan, yang menyatakan bahwa pendidikan untuk anak usia dini harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Prinsip tersebut dinamakan praktek-praktek yang sesuai dengan perkembangan anak (developmentally appropriate practice atau DAP)[11].
Hasenstab dan Horner mengatakan bahwa pendidikan anak usia dini dimulai tiga tahun sampai dengan enam tahun yang sering dikatakan sebagai pendidikan prasekolah, dan pada masa ini anak mengalami perkembangan yang sangat pesat baik fisik, maupun psikis atau kejiwaan.[12] Sehingga pembelajaran pada masa ini bagaikan mengukir di atas batu ”at ta’allumu fi al sighari ka al naqshi ’ala al hajari”
Landasan Sosiologis
Dilihat dari kesempatan memperoleh pendidikan di Indonesia baik melalui jalur pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah menunjukkan bahwa anak usia dini yang memperoleh pelayanan pendidikan prasekolah masih sangat rendah. Pada tahun 2002 dari sekitar 26.172.763 anak usia 0-6 tahun di Indonesia yang mendapatkan layanan pendidikan dari berbagai program PAUD yang ada baru sekitar 7.343.240 anak atau sekitar 28 %. Adapun untuk usia prasekolah, yaitu usia 4-6 tahun masih terdapat sekitar 10,2 juta (83,8%) yang belum terlayani di pendidikan prasekolah. Dari keseluruhan jumlah anak usia 0-6 tahun yang mendapat layanan, jumlah terbesar berada  di SD kelas awal yaitu 2.641.262 anak (10 %), berikutnya melalui program Bina Keluarga Balita sebesar 2.526.205 anak (9,6 %), TK sebesar 1.749.722 anak (6,7 %), RA sebesar 378.094 anak (1,4 %). Kelompok bermain sebesar 36.649 anak (0,1 %), dan melalui Taman Penitipan Anak sebesar 15.308 anak (0,06 %). Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa anak usia dini yang belum terlayani pendidikan anak usia dini sebesar 19,01 juta anak (72,64 %).[13]
Rendahnya tingkat partisipasi anak mengikuti pendidikan anak usia dini berdampak pada rendahnya sumber daya manusia Indonesia. Menurut laporan UNDP tentang Human Development Index (HDI) pada tahun 2005 Indonesia menempati peringkat 103 dari 173 negara, jauh di bawah negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (59), Philipina (77), Thailand (70), bahkan peringkat Indonesia di bawah Vietnam, sebuah negara yang baru bangkit dan porak poranda akibat perang berkepanjangan.
Di samping itu kualitas sumber daya manusia Indonesia yang masih rendah, diikuti juga dengan terpuruknya kualitas pendidikan di segala bidang dan tingkatan. Berdasarkan hasil studi ”kemampuan membaca” siswa tingkat SD yang dilaksanakan oleh International Educational Achievement (IEA) diketahui bahwa kualitas siswa SD di Indonesia berada di urutan 36 dari 39 negara. Hasil penelitian The Third Mathematics and Sience Study Repeat tahun 2005, kemampuan siswa di bidang IPA berada di urutan ke 31 dari 38 negara yang diteliti dan di bidang matematika berada di urutan ke 33 dari 38 negara yang diteliti.[14] Rendahnya kualitas pendidikan itu antara lain dipengaruhi oleh input, terutama calon siswa didasarkan pada suatu kenyataan bahwa selama ini perhatian terhadap pendidikan anak usia dini masih sangat minim.
C. Model Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini
Anak dengan beragam potensi dan hak perlindungan yang dimilikinya, menyadarkan kita semua akan kewajiban sebuah tempat/lembaga untuk menumbuhkembangkan potensi anak dan memenuhi hak-hak anak secara maksimal. Ada sepuluh hal yang akan didiskusikan disini yang menjadi ciri-ciri lembaga pendidikan usia dini yang diharapkan dapat memenuhi hak-hak anak.
1. Lingkungan yang Kondusif
Taman Pendidikan Anak Usia Dini merupakan lembaga pendidikan non formal pada umumnya bersumber dari sebuah lembaga swadaya masyarakat. Oleh karena itu dukungan dari semua stakeholders (seluruh warga sekolah, komite sekolah, yayasan, dan wali murid, serta tokoh masyarakat sekitar dan ahli pendidikan), merupakan kunci pembuka kesuksesan dalam pendidikan. Adanya komunikasi dialogis di antara mereka, untuk saling memikirkan dan memusyawarahkan tentang semua hal yang berkaitan dengan program pendidikan, terutama yang berhubungan dengan pemenuhan hak anak baik fisik maupun non fisik adalah suatu keharusan. Lingkungan belajar yang aman dan menyenangkan meliputi tempat bermain, kelas yang kondusif, pelayanan kesehatan dengan segala sarana dan prasarananya harus dipersiapkan.
Hubungan Taman PAUD dengan orang tua anak juga harus dibangun secara dialogis, dengan cara membuka konsultasi tentang problema pendidikan anak setiap hari, disamping juga mengadakan pertemuan rutin setiap satu bulan antara orang tua dan guru. Pertemuan tersebut dapat digunakan sebagai forum sosialisasi kebijakan, baik kebijakan intern lembaga, kebijakan dari pemerintah, maupun instansi lain yang berhubungan dengan pendidikan anak. Sehingga hubungan dialogis antara lembaga pendidikan dan orang tua, bahkan seluruh stakeholders menjadi sangat penting untuk terus dibudayakan.
2. Sistem Perencanaan
Membangun sebuah Taman PAUD harus disertai dengan sistem perencanaan yang menjamin mutu program pendidikannya. Dalam perencanaan tersebut sudah harus tergambar secara keseluruhan program pendidikan yang dapat mengantarkan anak didik ke jenjang pendidikan selanjutnya.  Perencanaan yang semacam ini tentu saja tidak dapat dilakukan oleh pihak Taman PAUD sendiri tanpa melibatkan seluruh stakeholders. Terutama orang tua anak, sebab mereka yang paling berkepentingan untuk menumbuhkembangkan anaknya sesuai dengan potensi, bakat, minat, dan kesanggupan yang dimilikinya. Oleh karena itu, pihak Taman PAUD harus secara cermat dan matang mempertimbangkan semua masukan dari seluruh stakekolders, dan yang paling harus dipertimbangkan adalah “kepentingan terbaik bagi anak” yang telah disuarakan baik melalui undang-undang perlindungan anak maupun melalui deklarasi PBB tentang hak anak.
Dalam melaksanakan program-program yang telah direncanakan haruslah dengan niat ikhlas, maksudnya niat ketulusan hati atau etikat yang jelas dan murni dalam melaksanakan tugas disertai niat lillahi rabbil ‘alamin, berarti tumbuhnya kesadaran untuk berbuat demi memajukan kebaikan di atas prinsip pengabdian semata-mata karena Allah.
3. Harapan Prestasi Akademik
Harapan terhadap prestasi akademik dapat dilihat dalam beragam aktifitas yang dilakukan oleh pihak TP-PAUD. Misalnya para guru berupaya keras membelajarkan para siswanya dengan beragam strategi pembelajaran. Jika mereka merasa belum berhasil dengan strategi tertentu, maka mereka melakukan remidi dengan mencoba strategi lain yang lebih efektif.
Contoh lain adanya harapan prestasi akademik adalah kegiatan out bond bagi siswa menempa anak didik untuk belajar secara mandiri. Mereka dilatih merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi sendiri aktivitas belajar mereka sehari-hari. Hal ini dimaksudkan agar mereka terbiasa memotivasi dirinya sendiri untuk belajar. Mereka sadar memperbaiki sendiri kekurangan dirinya yang dapat menghambat proses belajarnya. Dalam kegiatan tersebut mereka juga diyakinkan bahwa mereka memiliki potensi yang dapat tumbuh dan berkembang secara baik, jika diupayakan secara maksimal.
Di samping itu, penghargaan terhadap prestasi siswa juga harus dilakukan. Penghargaan terhadap prestasi siswa tidak harus berupa hadiah yang berbentuk barang, piala, ataupun piagam penghargaan, tetapi dapat berbentuk perilaku. Seperti pujian, acungan jempol, tepukan punggung, dll, atau dengan stiker yang murah. Setiap guru saling berlomba mengasah dan menumbuhkembangkan kreatifitas siswa, kemudian merayakannya dengan cara memamerkan karya tersebut, sehingga siapapun yang lewat di depan kelas apalagi masuk  ke  dalam kelas, akan tersenyum dan bangga melihat kreatifitas siswa.
4. Keefektifan Guru
Guru yang efektif adalah guru yang peduli dan berupaya meningkatkan kualitas diri, guru yang komunikatif baik dengan siswa, orang tua siswa, dan teman sejawat, bahkan dengan pimpinan madrasah, juga guru yang berhasil menciptakan suasana pembelajaran aktif, kretatif, efektif, dan menyenangkan karena menggunakan beragam strategi dalam peroses pembelajaran, juga terampil menggunakan media pembelajaran. Reni Akbar dalam bukunya yang berjudul Psikologi Perkembangan Anak memaparkan kriteria guru efektif antara lain: Guru yang dapat berperan sebagai seorang manager yang baik, selalu mengharapkan siswanya sukses, memberi materi ajar sesuai dengan kapasitas muridnya, memberikan umpan balik, memberikan tes yang adil, menjelaskan kriteria penilaiannya, mau merangsang daya nalar anak, dapat membantu anak menyadari pertumbuhan kompetensi dan penguasaannya terhadap materi/keahlian/ketrampilan tertentu, mampu bersikap empati, menilai pengetahuan di atas nilai[15].
Guru PAUD memberikan layanan pendidikan kepada anak usia lahir-6 tahun. Sampai dengan usia 3 (tiga) tahun pengasuhan dan pendidikan ini lebih diperankan oleh orang tuanya. Agar pengasuhan yang dilakukan dalam keluarga berjalan sesuai dengan perkembangan anak, berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, seperti adanya Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Bina Keluarga Balita (BKB), Satuan PAUD Sejenis (SPS) yang mencoba membantu keluarga mengidentifikasi perkembangan anaknya dan memberikan intervensi dini jika diperlukan. Pada usia 3 (tiga) tahun, anak-anak sudah mulai memasuki dunia yang lebih luas, yaitu Kelompok Bermain, dan pada usia 4 (empat) tahun mereka memasuki pendidikan PAUD formal berupa TK/RA. Dengan meluasnya lingkungan anak dari keluarga ke Kelompok Bermain dan kemudian ke TK, tidaklah berarti bahwa anak-anak ini sudah siap lepas dari orang tua atau pengasuhnya. Pemandangan yang sering tampak di KB atau TK, khususnya pada bulan-bulan pertama, adalah

banyaknya orang tua/pengasuh yang menunggui anaknya dan ikut duduk bersama anak-anaknya. Hal ini terjadi karena anak-anak ini belum siap berpisah dari orang tua/pengasuhnya, meski untuk waktu yang sangat singkat. Maka tidaklah mengherankan jika kelas KB atau TK selalu penuh sesak, bukan hanya oleh anak-anak, tetapi juga oleh orang tua atau pengasuh anak.

Sehubungan dengan kondisi yang dipaparkan di atas, seorang guru PAUD, harus memahami benar konteks kerjanya, yaitu mendidik anak usia lahir-6 tahun, sebagai tugas utama. Dia juga harus mampu menjalin komunikasi yang positif dengan para orang tua/pengasuh, di samping tugas utamanya untuk mengasuh/mendidik anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu, seorang guru PAUD harus memahami dengan benar peta perkembangan anak mulai dari usia sejak lahir sampai 6 (enam) tahun. Ia harus memahami benar bahwa setiap anak merupakan individu yang unik dengan potensi yang dapat dikembangkan secara optimal. Pemahaman ini akan sangat bermanfaat baginya dalam menyediakan berbagai kegiatan bermain sambil belajar yang mampu menstimulasi bertumbuh-kembangnya potensi yang dimiliki anak. Ia juga diharapkan mampu menilai apakah berbagai kegiatan bermain sambil belajar yang disediakannya mempunyai dampak positif bagi perkembangan potensi anak. Berdasarkan hasil penilaian tersebut guru PAUD harus mampu melakukan penyesuaian terus menerus sehingga kegiatan bermain sambil belajar yang diupayakannya makin berdampak positif bagi perkembangan anak.
5. Kepemimpinan
Kepemimpinan Taman PAUD harus mengacu pada penataan sistem managemen, administrasi, sistem perencanaan, sampai pada penataan sistem evaluasi program. Seorang kepala Taman PAUD harus mampu mempengaruhi para warganya untuk menciptakan suasana baru dan semangat baru untuk melakukan perubahan membangun Taman PAUD yang berkualitas.
Kepala Taman PAUD harus merespon positif semua kegiatan yang menunjang kegiatan pembelajaran dan peningkatan kualitas belajar anak, yakni pembelajaran yang dapat meningkatkan kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, juga kecerdasan spiritual anak.
Visi dan misi Taman PAUD harus mengilhami setiap kebijakan pimpinan. Dan kebijakan tersebut juga harus mampu mempengaruhi kreatifitas guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran.
6. Ganjaran dan Insentif
Sistem penghargaan dan insentif di TP-PAUD sudah seharusnya berdasarkan pada prestasi, latar belakang pendidikan, maupun kinerjanya, bukan berbasis pemerataan. Sistem ini tidak hanya berlaku pada gaji pokok dan tunjangan wali kelas, semua insentif yang diterima, baik karena melaksanakan tugas rutin maupun tugas insidental harus mempertimbangkan hal-hal tersebut.
Selama ini yang berkembang di sekolah/madrasah –diakui atau tidak- penentuan dan kenaikan gaji hanya berdasarkan masa kerja, tidak ada pertimbangan yang lain. Antara yang kreatif dan tidak, antara yang berprestasi dengan yang tidak, antara yang produktif dengan yang tidak, tidak ada perbedaan penghargaan yang cukup signifikan terkait dengan peningkatan jenjang karier dan insentif yang mereka terima.  Perbedaan penghargaan hanya berdasarkan masa kerja. Latar belakang pendidikan juga tidak menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan penghargaan.
Model insentif semacam ini, seharusnya mulai dipikir ulang oleh lembaga pendidikan. Sebab insentif yang diberikan tidak sesuai dengan kerja yang dihasilkan lambat laun akan menimbulkan masalah, misalnya penurunan etos kerja. Jika lembaga pendidikan tidak ingin kehilangan etos kerja para warganya, sebaiknya sesegera mungkin mengubah model insentif dengan cara berbasis kinerja.
7. Tata Tertib dan Kedisiplinan
Sebuah kelemahan yang harus disadari dan segera diperbaiki oleh TP-PAUD adalah masalah tata tertib dan kedisiplinan di TP-PAUD. Tata tertib dan kedisiplinan bagi anak didik biasanaya sudah tertata rapi dan dengan tegas sudah disosialisasikan baik kepada orang tua maupun kepada anak didik.
Tetapi tata tertib dan kedisiplinan untuk warga lembaga pendidikan yang lain, pimpinan, guru dan staff administrasi, biasanya belum ada aturan tegas yang mengatur kinerja mereka. Mereka hanya diatur dengan job diskripsi untuk masing-masing unit kerja.  Kalaupun ada aturan yang mereka sepakati, tidak ada sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Yang berlaku hanya sanksi moral saja, itupun bagi yang merasa, bagi yang tidak merasa mendapatkan sanksi moral, tetap saja bertindak sesuai dengan kemauannya sendiri. Sehingga, seringkali komitmen yang dibangun dan disepakati bersama tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena tidak ada pengaruh apa-apa terhadap karier mereka. Antara yang disiplin dengan yang tidak, tidak ada hukuman yang secara tegas membedakan mereka.
Kondisi semacam ini seharusnya diwaspadai oleh setiap TP-PAUD, jika tidak ingin kehilangan semangat para warganya untuk meningkatkan kualitas kinerjanya. Sebab tidak mustahil mereka yang semula kreatif, aktif, produktif, dan disiplin akan berubah total karena apa yang dilakukannya tidak mendapatkan penghargaan yang sebanding dengan yang dilakukan. Di sisi lain mereka yang pasif, tidak memiliki ide, dan tidak disiplin akan tenang-tenang saja, karena tidak merasa melakukan pelanggaran apa-apa dan tidak mendapat hukuman apa-apa. Jika kondisi semacam ini sudah muncul, maka untuk membangun semangat yang sudah pernah berkobar akan sulit dinyalakan kembali dan membutuhkan ekstra tenaga dan pikiran untuk mengembalikannya.
Sebelum terjadi yang demikian seharusnya Taman PAUD mulai berpikir keras untuk merumuskan tata tertib dan pola kedisiplinan yang akan diterapkan. Tata tertib dan pola kedisiplinan tersebut dirumuskan dan disepakati bersama melalui forum diskusi yang dilakukan secara serius  dengan stakeholders.
8. Pelaksanaan Pembelajaran Kreatif
Bermain merupakan wahana belajar untuk mengeksplorasi lingkungan yang dapat mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, dan sosial-emosional anak. Di samping itu, bermain juga mengembangkan individu agar memiliki kebiasaan-kebiasaan baik, seperti tolong-menolong, berbagi, disiplin, berani mengambil keputusan dan bertanggungjawab. Bermain dapat mengembangkan kemampuan berimajinasi dan bereksplorasi. Oleh karena itu, pendidik PAUD perlu memahami makna bermain agar mampu mengembangkan permainan dan menciptakan suasana yang mengundang keasyikan bermain yang mendorong anak belajar. Guru perlu menyiapkan lingkungan kegiatan bermain yang bermakna, aman, nyaman dan dapat menarik minat anak untuk belajar secara alami. Pada saat anak melaksanakan beragam permainan dan bermain dengan berbagai media, guru berpartisipasi dan berinteraksi untuk meningkatkan kemampuan berpikir anak, di samping memberi penguatan dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu, alat permainan edukatif merupakan salah satu komponen pokok dalam program pendidikan anak usia dini.
Tahapan bermain mencakup bermain soliter, parallel, kooperatif, dan bermain peran. Jenis permainanpun beragam, seperti permainan motorik, asosiatif/sosial, konstruktif, kooperatif, bermain peran, dan bermain dengan aturan. Suasana bermain untuk pembentukan kepribadian dapat dibedakan menjadi: 1) bebas, (2) terpimpin, dan (3) sesuai minat anak dengan bantuan guru. Pada suasana bermain bebas, pilihan kegiatan dipersiapkan guru, sedangkan anak bebas memilih permainan yang disukai. Bagi sebagian anak, suasana bebas ini sangat sesuai dan memicu pertumbuhan kepribadiannya, sedangkan sebagian anak lainnya, suasana seperti ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. Suasana bermain terpimpin, kegiatan ditentukan oleh guru, sehingga membuat anak menunggu dan tidak mandiri. Tampaknya disiplin terkendali, namun kebebasan untuk berekspresi kurang mendapat keleluasaan. Suasana bermain sesuai minat anak dengan bantuan guru memberi kesempatan kepada anak untuk memilih permainan sesuai dengan minatnya. Guru mempersiapkan pusat minat dan area serta berfungsi sebagai fasilitator.
Untuk memaksimalkan pengaruh jiwa anak metode pembelajaran dapat dilakukan dengan: modelling, menanamkan rasa bangga, berpikir positif, dan menghindari kritik.
Modelling; bila manusia menemukan model yang tepat, ia akan berusaha menjadi model itu. Ia perlahan-lahan akan mengalami perubahan secara ruhaniah dan jasmaniah, mendekati orang yang menjadi model itu. Ketika ada manusia yang sanggup melakukan sesuatu, manusia lainpun berpikir sama. Mereka berpikir bila orang lain mampu, mengapa mereka tidak. Pikirannya mempengaruhi kekuatan fisiknya. You don’t think what you are. You are what you think.[16]
Menanamkan rasa bangga; adalah David McCleland yang menunjukkan adanya hubungan antara rasa bangga dengan hasrat berprestasi. Bangsa-bangsa yang berhasil membangun peradaban adalah mereka yang merasa menjadi manusia istimewa. McCleland menyebut gerakan Reformasi dan Protestanisme yang disertai dengan keyakinan sebagai umat pilihan. Kita sekarang paham mengapa al-Qur’an mengingatkan pemeluk Islam bahwa  antum al-a’laun, kuntum khaira ummatin, dsb. Atau Nabi Saw. Yang mendidik sahabat-sahabatnya untuk tidak merendah di hadapan orang-orang kafir.
Dalam hubungan dengan pendidikan, pendidik harus berhasil menanamkan pada anak-anak didiknya bahwa mereka bukan sembarang orang, mereka adalah the selected few. Secara praktis, guru dapat mengembangkan rasa bangga.
Berpikir positif; mempunyai pandangan yang positif tentang anak, apa yang dikerjakan, dipikirkan, dan dibicarakan anak adalah sesuatu yang harus didengar dan direspon positif. Berpikir positif juga mempunyai ekspektasi yang baik dan berusaha mewujudkannya. What you think about, comes about. Konon, Henry Ford berkata: ”whether you think you can or think you cannot-you’re right!
Hindari kritik. Ketika seorang anak kecil berjalan, ia terjatuh beberapa kali. Tiada seorang dewasapun yang menegurnya, ”Hai, bodoh betul kamu”. ”Salah, bukan begitu caranya”, atau ”Memang kamu sulit belajar?”, orang-orang dewasa menggembirakannya, mondorongnya, dan memberi semangat kepadanya. Dalam satu tahun, anak ini sudah sanggup berjalan, sebuah gerak yang sangat kompleks baik secara fisik maupun neurologis.
Dalam dua tahun, anak mulai belajar berbahasa. Dalam lima tahun, mereka mengetahui 90 % dari semua kata yang biasanya dipergunakan oleh orang-orang dewasa. Semuanya diperoleh tanpa mempelajari buku tata bahasa atau kurikulum yang sistematik.
Tetapi begitu anak masuk sekolah, mulailah ia mendengar orang-orang dewasa mengkritiknya, memberikan komentar yang tidak sedap tentang prestasinya. Tahun 1982, Jack Canfield, psikolog ahli self-esteem, menemukan bahwa dalam satu hari rata-rata setiap anak menerima komentar yang negatif dan 75 komentar positif. Terdapat enam kali lebih banyak komentar negatif daripada komentar positif. Setelah beberapa tahun di sekolah, terjadilah learning shutdown, yang menguras banyak tenaga kreatif manusia.[17]
9. Tertib Administrasi
Adanya penataan administrasi yang rapi akan menghasilkan segala sesuatunya dalam lembaga menjadi transparan, terbuka, terhadap permasalahan baik internal maupun eksternal. Lebih-lebih jika permasalahan yang menyangkut keuangan, agar lebih transparan dan diterima oleh masyarakat. Penataan administrasi yang rapi akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap suatu lembaga.
10. Net-working
Untuk meningkatkan kualitas Taman PAUD dalam skala yang lebih luas perlu dirintis dan direalisasikan net-working dengan mitra kerja berskala nasional dan internasional, baik dengan lembaga pemerintah maupun dengan lembaga non pemerintah (NGO) atau dengan lembaga dana internasional (founding) yang memiliki komitmen dengan pengembangan PAUD di Indonesia.
Agar upaya untuk melakukan net-working tersebut berjalan secara serius dan professional, maka dipandang  perlu untuk dibentuk tim khusus bersifat non-struktural yang bertugas sebagai “penggodok ide dan gagasan net-working”, atau bahkan bila dipandang perlu tim ini juga dapat berfungsi sebagai semacam “Tim Lobi atau Negoisator” terhadap berbagai mitra kerja yang memungkinkan diajak kerjasama dalam pengembangan PAUD.
D. SIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat diambil dua (2) simpulan:
1.      Penyelenggaraan program Pendidikan Anak Usia Dini melalui jalur pendidikan formal maupun non formal telah difasilitasi oleh pemerintah dan bebas dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan undang-undang yang telah digariskan oleh pemerintah. Hal tersebut untuk membantu orang tua dalam menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan potensi, bakat, minat dan taraf kesanggupannya. Hal itu sebagaimana yang dianjurkan Islam untuk mempersiapkan generasi yang berkualitas yang kelak akan menjadi insan kamil, sukses hidup di dunia dan akherat.
2.      Model Pengembangan Taman Pendidikan Anak Usia Dini meliputi kriteria sebagai berikut: Lingkungan yang kondusif, Sistem perencanaan melibatkan seluruh stakeholder, Harapan yang tinggi terhadap prestasi akademik, Keefektifan guru, Kepemimpinan yang instruksional yang berorientasi pada prestasi akademik,  Ganjaran dan insentif berbasis kinerja, tata tertib dan disiplin yang baik, pelaksanaan pembelajaran yang kreatif, tertib administrasi, dan mengadakan net-working dengan mitra kerja berskala nasional dan internasional, baik dengan lembaga pemerintah maupun dengan lembaga non pemerintah (NGO) atau dengan lembaga dana internasional (founding) yang memiliki komitmen dengan pengembangan PAUD di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. 1, 1990
Depdiknas, Kurikulum Hasil belajar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Depdiknas, 2002.
Fasli Jalal, “Peran Pendidikan Non Formal dalam Pembangunan Manusia Indonesia yang Cerdas dan Bermutu”, dalam seminar Sosialisasi Pendidikan Non Formal, Universitas Negeri Yogyakarta, 2006.
Gardner, H. Frame of Mind: the Theory of Multiple Intelligences . New York: Basic Books, 1993
Hasenstab, Comprehensive Intervention with Hearing-Impaired Infants and Preschool Children, London: An Aspen Publication, 1982
http://www.whitehouse.gov/infocus/earlychild-hood/sect2.html.
Jalaluddin Rakhmat, SQ for Kids; Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini, Bandung: Mizan, 2007
Keppres No. 36 tahun 1990
Mansur, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet. 2, 2004
Nur Hidayati, dkk. 2007. Memperkecil Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen Agama.
Pepak, “Kekerasan pada Anak”, http://pepak.sabda.org/pustaka/061184/13/7/2006
Reni Akbar-Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak Jakarta: Grasindo, 2001
Tim Media, Himpunan Undang-Undang , Surabaya: Media Centre, 2006
Amandemen UUD 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

[1] Depdiknas, Kurikulum Hasil belajar Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Depdiknas, 2002), 3-4.
[2] Mansur, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 89.
[3] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet. 2, 2004), 92
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet. 1, 1990), 55-56.
[5] http://www.whitehouse.gov/infocus/earlychild-hood/sect2.html.
[6] Tim Media, Himpunan Undang-Undang (Surabaya: Media Centre, 2006), 102
[7] Nur Hidayati, dkk. 2007. Memperkecil Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen Agama. 24.
[8] Pepak, “Kekerasan pada Anak”, http://pepak.sabda.org/pustaka/061184/13/7/2006
[9] Mansur, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, 98.
[10] Gardner, H. Frame of Mind: the Theory of Multiple Intelligences .( New York: Basic Books, 1993), 23.
[11] Ibid
[12] Hasenstab, Comprehensive Intervention with Hearing-Impaired Infants and Preschool Children, (London: An Aspen Publication, 1982), 122.
[13] Fasli Jalal, “Peran Pendidikan Non Formal dalam Pembangunan Manusia Indonesia yang Cerdas dan Bermutu”, dalam seminar Sosialisasi Pendidikan Non Formal, Universitas Negeri Yogyakarta, 2006.
[14] Ibid
[15] Reni Akbar-Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak (Jakarta: Grasindo, 2001), 96.
[16] Jalaluddin Rakhmat, SQ for Kids; Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini, (Bandung: Mizan, 2007), 28.
[17] Ibid, 44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar