blog mencari ilmu
Rabu, 11 Maret 2015
Selasa, 11 Maret 2014
KEPEMIMPINAN DAN PERILAKU ORGANISASI
TUGAS AKHIR
KEPEMIMPINAN
DAN PERILAKU ORGANISASI
(STUDI
KASUS MOTIVASI ORGANISASI )
O L E H
KELAS : A
SUSIYANTI ANA
PUSPITA
G2G1 12 117
Studi Kasus Konflik
dan Motivasi
Motivasi
adalah sebuah alasan atau dorongan seseorang untuk bertindak. Orang yang tidak
mau bertindak sering kali disebut tidak memiliki motivasi. Alasan atau dorongan
itu bisa datang dari luar maupun dari dalam diri. Sebenarnya pada dasarnya
semua motivasi itu datang dari dalam diri, faktor luar hanyalah pemicu
munculnya motivasi tersebut. Motivasi dari luar adalah motivasi yang pemicunya
datang dari luar diri kita. Sementara meotivasi dari dalam ialah motivasinya
muncul dari inisiatif diri kita.
Pada dasarnya
motivasi itu hanya dua, yaitu untuk meraih kenikmatan atau menghindari dari
rasa sakit atau kesulitan. Uang bisa menjadi motivasi kenikmatan maupun
motivasi menghindari rasa sakit. Jika kita memikirkan uang supaya kita tidak
hidup sengsara, maka disini alasan seseorang mencari uang untuk menghindari
rasa sakit. Sebaliknya ada orang yang mengejar uang karena ingin menikmati
hidup, maka uang sebagai alasan seseorang untuk meraih kenikmatan.
Terdapat 9
Teori Motivasi, yaitu :
Teori Abraham
H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori
motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada
pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan,
yaitu :
1)
kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti :
rasa lapar, haus, istirahat dan sex,
2)
kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti
fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual,
3)
kebutuhan akan kasih sayang (love needs),
4)
kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada
umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status dan ,
5)
aktualisasi diri (self actualization), dalam arti
tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat
dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan
yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang
diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai
kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi
kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia
itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia
berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang
unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan
tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Teori
McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari
McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need
for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai
dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip
oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“
Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi,
atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan
hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang
berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa
puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain.
Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :
(1) sebuah
preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat,
(2) menyukai
situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka
sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya dan,
(3) menginginkan
umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan
mereka yang berprestasi rendah.
Teori Clyton Alderfer
(Teori “ERG)
Teori
Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer
merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence
(kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan
pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan). Jika makna tiga
istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara
konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh
Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki
pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki
kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung
makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer
menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya
secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa
:
Ø Makin
tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk
memuaskannya
Ø Kuatnya
keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila
kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
Ø Sebaliknya,
semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar
keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya
pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena
menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi
obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada
hal-hal yang mungkin dicapainya.
Teori
Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan
ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi
Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari
motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut
Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah
pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan
dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau
pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan
seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan
sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan
organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem
imbalan yang berlaku.
Salah satu
tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan
dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang,
apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
Teori
Keadilan
Inti teori
ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan
kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan
yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa
imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
Seorang akan
berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Teori
penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke
mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme
motivasional yakni :
(1)
tujuan-tujuan mengarahkan perhatian,
(2)
tujuan-tujuan mengatur upaya
(3)
tujuan-tujuan meningkatkan persistensi dan
(4)
tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan
rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif
tentang penetapan tujuan
Teori
Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H.
Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu
teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi
merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan
yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang
diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan
jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya.
Dinyatakan
dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang
menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang
bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu.
Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis,
motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Teori
Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai
teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai
model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan
persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya
pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam
kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang
ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan
tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut
berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Teori
Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik
tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam
arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus
menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti
menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model.
Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah
apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang
individu .
Menurut model
ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah :
(a) persepsi
seseorang mengenai diri sendiri,
(b) harga
diri,
(c) harapan
pribadi,
(d) kebutuhaan,
(e) keinginan,
(f) kepuasan
kerja,
(g) prestasi
kerja yang dihasilkan.
Sedangkan
faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis
dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c)
organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem
imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
A. Dinamika Konflik
Timbulnya konflik atau pertentangan
dalam organisasi, merupakan suatu kelanjutan dari adanya komunikasi dan
informasi yang tidak menemui sasarannya. Suatu pemahaman akan konsep dan
dinamika konflik telah menjadi bagian vital dalam studi perilaku
organisasional, oleh karena itu perlu untuk dipahami dengan baik.
Pada
hakikatnya, konflik merupakan suatu pertarungan menang atau kalah antara
kelompok atau perorangan yang berbeda kepentingan satu sama lain dalam
organisasi, atau dapat dikatakan juga bahwa konflik adalah segala macam
interaksi pertentangan atau antogonistik antara dua atau lebih pihak yang
terkait.
Adapun
mengenai jenis-jenis konflik, ada beberapa orang yang mengelompokan konflik
menjadi sebagai berikut :
- Konflik peranan yang terjadi di dalam diri seseorang (person role conflict).
- Konflik antar peranan (inter-role conflict), yaitu persoalan yang timbul akibat seseorang yang menjabat dua atau lebih fungsi yang saling bertentangan.
- Konflik yang timbul karena seserorang harus memenuhi harapan beberapa orang (intersender conflict)
- Konflik yang timbul karena disampaikannya informasi yang saling bertentangan (intrasender conflict).
Selain
pembagian jenis konflik di atas masih ada pembagian jenis konflik yang
dibedakan menurut pihak-pihak yang saling bertentangan, yaitu:
- Konflik dalam diri individu
- Konflik antar individu
- Konflik antar individu dan kelompok
- Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama.
- Konflik antar organisasi.
Konflik
organisasional timbul karena ada beberapa sumbernya, dan berbagai sumber utama
konflik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
- Kebutuhan untuk membagi sumber daya-sumber daya yang terbatas
- Perbedaan-perbedaan dalam berbagai tujuan
- Saling ketergantungan kegiatan-kegiatan kerja
- Perbedaan nilai-nilai atau persepsi
- Kemendungan organisasional
- Gaya-gaya individual
Individu-individu
dalam organisasi mempunyai banyak tekanan pengoperasian organisasional yang
menyebabkan konflik. Secara lebih konsepsual Litterer mengemukakan empat
penyebab konflik organisasional, antara lain:
- Suatu situasi di mana tujuan-tujuan tidak sesuai
- Keberadaan peralatan-peralatan yang tidak cocok atau alokasi-alokasi sumber daya yang tidak sesuai
- Suatu masalah ketidak tepatan status
- Perbedaan persepsi
Di
dalam suatu organisasi terdapat empat bidang struktural, dan di bidang itulah
konflik sering terjadi, yaitu:
- Komflik hiarkis, adalah konflik antara berbagai tingkatan organisasi
- Konflik fungsional, adalah konflik antara berbagai departemen fungsional organisasi
- Konflik lini-staf, adalah konflik antara lini dan staf
- Konflik formal informal, adalah konflik antara organisasi formal dengan organisasi informal
Secara
tradisional pendekatan terhadap konflik organisasional adalah sangat sederhana
dan optimistik. Pendekatan tersebut didasarkan atas tiga anggapan yaitu:
- Konflik dapat dihindarkan
- Konflik diakibatkan oleh para pembuat masalah, pengacau dan primadona
- Bentuk-bentuk wewenang legalistik
- Korban diterima sebagai hal yang tak dapat dielakkan.
Apabila
keadaan tidak saling mengerti serta situasi penilaian terhadap perbedaan antara
anggota organisasi itu makin parah sehingga konsensus sulit dicapai, sehingga
konflik tak terelakkan, dalam hal ini pimpinan dapat melakukan berbagai
tindakan tetapi harus melihat situasi dan kondisinya, yaitu:
- Menggunakan kekuasaan
- Kronfontasi
- Kompromi
- Menghaluskan situasi
- Pengunduran diri
Bila
dilihat sekilas memang sepertinya konflik itu sangat sulit untuk dihindari dan
diselesaikan, tetapi dalam hal ini jangan beranggapan bahwa dengan adanya
konflik berarti organisasi tersebut telah gagal, karena bagaimanapun sulitnya
suatu konflik pasti dapat diselesaikan oleh para anggota dengan persoalan serta
mendudukannya pada proporsi yang wajar.
B. Teori Motivasi
Motivasi
adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk
melakukan kegiatan-kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan.
Jadi
motivasi bukanlah sesuatu yang dapat diamati, tetapi merupakan hal yang dapat
dismpulkan adanya karena suatu perilaku yang tampak. Motivasi merupakan masalah
yang kompleks dalam organisasi karena kebutuhan dan keinginan setiap anggota
organisasi berbeda-beda dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda
pula.
Motivasi
dapat ditimbulkan baik oleh faktor internal maupun eksternal tergantung dari
mana suatu kegiatan dimulai.
Kebutuhan
dan keinginan yang ada dalam diri seseorang akan menimbulkan motivasi internal.
Begitu juga dalam suatu organisasi, setiap individu akan mempunyai kebutuhan
dan keinginan yang berbeda dan unik. Penggolongan motivasi internal yang dapat
diterima secara umum belum mendapat kesepakatan para ahli, namun demikian para
psikolog menyetujui bahwa motivasi internal dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu:
- Motivasi fisiologis, yang merupakan motivasi alamiah (biologis) seperti lapar, haus, seks.
- Motivasi psikologis, yang dapat dikelompokan dalam tiga kategori dasar, yaitu:
·
Motivasi
kasih sayang (affectional motivation), yaitu motivasi untuk menciptakan
dan memelihara kehangatan, keharmonisan, dan lain-lain.
·
Motivasi
mempertahankan diri (ego-defensive motivation), yaitu motivasi untuk
melindungi kepribadian dan mendapatkan kebanggaan diri
·
Motivasi
memperkuat diri (ego-bolstering motivation), yaitu motivasi untuk
mengembangkan kepribadian, berprestasi, dan lain-lain.
Teori
motivasi eksternal menjelaskan kekuatan-kekuaan yang ada di dalam individu yang
dipengaruhi faktor-faktor intern. Untuk itu, teori motivasi eksternal tidak
mengabaikan teori motivasi internal, tetapi justru mengembangkannya. Teori
motivasi eksternal ada yang positif dan pula yang negatif. Dlam hal ini ada
sebuah teori dari mc Gregor yang dikenal dengan tori X dan teori Y, yang akan
membantu menjelaskan teori motivasi eksternal.
Teori
tradisional mengenai kehidupan organisasi banyak diarahkan dan dikendalikan
oleh teori X. Adapun anggapan-anggapan yang mendasari teori tersebut adalah:
- Rata-rata para pekerja itu malas, tidak suka bekerja
- Karena pada dasarnya pekerja tidak suka bekerja, maka harus dipaksa, dikendalikan, diperlakukan dengan hukuman, dan diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi
- Rata-rata para pekerja lebih senang dibimbing, berusaha menghindari tanggung jawab, ambisi yang kecil, dan lain-lain.
Tetapi
pada kenyataannya teori X tidak dapat menjawab seluruh fakta yang ada dan
terjadi di dalam organisasi. Oleh karena itu perlu ada teori yang lain yang
mungkin dapat menjawabnya, yaitu teori Y, anggapan-anggapan dari teori Y antara
lain sebagai berikut:
- Usaha fisik dan mental yang dilakukan manusia dalam bekerja adalah kodrat manusia, sama halnya dengan bermain atau beristirahat
- Rata-rata manusia bersedia belajar, dalam kondisi yang layak tidak hanya menerima tetapi mencari tanggung jawab
- Ada kemampuan yang besar dalam kecerdikan, kreativititas dan daya imajinasi untuk memecahkan masalah-maslah organisasi yang secara luas tersebar pada seluruh karyawan
- Pengendalian ekstern dan hukuman bukan satu-satunya cara untuk mengarahkan usaha pencapaian tujuan tersebut
- Keterikatan pada tujuan organisasi adalah fungsi penghargaan yang diterima karena prestasinya
- Organisasi seharusnya memberikan kemungkian orang untuk mewujudkan potensinya, dan tidak hanya digunakan sebagian.
Motivasi
dapat dipandang sebagai prose psikologis dasar yang terdiri atas berbagai
kebutuhan, dorongan dan tujuan. Pendekatan hubungan manusiawi pada umumnya
tidak menyadari pentingnya proses psikologis tersebut. Pandangan itu terutama
didasarkan atas tiga asumsi sebagai berikut:
- Personalia terutama dimotivasi secara ekonomis dan perasaan aman serta kondisi kerja yang baik
- Pemenuhan ketiga hal itu akan mempunyai pengaruh positif pada semangat kerja mereka
- Ada korelasi positif antara semangat kerja dan produktivitas
Dengan
ketiga asumsi tersebut, diharapkan masalah motivasional yang dihadapi manajemen
relatif mudah dipecahkan dan diselesaikan.
Dalam
kenyataanya pendekatan hubungan manusiawi tidak sepenuhnya berjalan dalam
praktek, telah terbukti bahwa pendekatan ini terlalu sederhana dalam memecahkan
masalah-masalah motivasional kompleks yang dihadapi manajemen. Sejalan dengan
perkembangan masalah-masalah manusiawi yang mulai meningkat,
keterbatasan-keterbatasan pendekatan hubungan manusiawi mulai tampak.
Pada
tahun 1943 telah terjadi suatu pengembangan teori motivasi manusia yang sangat
terkenal yang dilakukan oleh Abraham Maslow seorang psikolog. Konsep teorinya
menjelaskan suatu hirarki kebutuhan (hierarchy of needs) yang menunjukan
adanya lima lingkaran keinginan dan kebutuhan manusia. Secara lebih terinci
kelima kebutuhan manusia yang membentuk hirarki kebutuhan adalah:
- Kebutuhan fisiologis (phisiological needs) seperti lapar, haus, perumahan, dan lain-lain.
- Kebutuhan keamanan (safety needs), yaitu kebutuhan akan keselamatan dan perlindungan dari bahaya, ancaman dan perampasan atau pun pemecatan
- Kebutuhan sosial (social needs), yaitu kebutuhan akan rasa cinta dan kepuasan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, kepuasan dan perasaan memiliki serta diterima dalam suatu kelompok, rasa kekeluargaan, rasa persahabatan dan kasih sayang
- Kebutuhan penghargaan (esteem needs), yaitu kebutuhan akan status atau kedudukan, kehormatan diri, reputasi, dan prestasi
- Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs), yaitu kebutuhan pemenuhan diri, untuk mempergunakan potensi diri, pengembangan diri semaksimal mungkin, kreativitas, ekspresi diri dan melakukan apa yang paling cocok serta menyelesaikan pekerjaan sendiri.
Selain
teori motivasi di atas masih ada teori motivasi yang lain antara lain teori
motivasi prestasi (achievement motivation) yang didasarkan pada kekuatan
yang ada di dalam manusia, teori ini dikembangan oleh Mc Clelland melalui riset
empiris. Teori ini menyatakan bahwa seseorang dianggap mempunyai motivasi
prestasi yang tinggi, apabila dia mempunyai keinginan untuk berprestasi lebih
baik daripada yang lain dalam banyak situasi. Mc Clelland memusatkan
perhatiannya pada tiga kebutuhan manusiawi, yaitu:
- Kebutuhan prestasi (need for achievement)
- Kebutuhan afiliasi (need for affiliation)
- Kebutuhan kekuasan (need for power)
C. Contoh Kasus
Contoh
yang tepat diberikan sebagai konflik dalam organisasi dapat dilihat dari
konflik yang tak henti-hentinya mendera Partai Demokrat. Partai pemenang Pemilu
2009 ini pada awalnya memegang teguh prinsip anti erhadap korupsi. Namun,
lambat laun satu persatu kader partainya tersandung kasus korupsi. Ini sudah
menjadi salah satu contoh konflik antara individu dengan kelompok organisasi.
Disaat partai lain sibuk membangun kekuatan internal untuk meraup suara dan
meraih posisi tertinggi, Demokrat justru tak jemu menciptakan konflik
berkepanjangan. Entah teori manajemen konflik seperti apa yang sedang
dijalankan partai ini. Yang pasti, konflik ini justru menghilangkan simpati
para pemilih. Ada empat poin konflik yang ditulis oleh Muhammad Risky Hamzar,
antara lain:
- Ketika SBY meminta menteri untuk sibuk mengurusi politik, Jero Wacik malah menabrak instruksi itu dengan komentarnya terhadap kepemimpinan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum
- Saat SBY meminta Partai politik untuk mengurangi kegaduhan politik, Partainya justru terpecah belah, sehingga membuat Presiden SBY terpaksa merangkap jabatannya dan mengambil alih jalannya Partai
- SBY pun dihadapkan pada dua pilihan, memecat Anas Urbaningrum atau mempertahankannya, dengan resiko yang sama besarnya, sehingga kosentrasi dalam mengurus negara terpecah belah
- SBY sebagai panglima anti korupsi harus membuka mata, bahwa namanya saat ini dikotori oleh orang-orang yang beliau percaya. Sangat ironis ketika orang-orang dekat Presiden justru tersandung kasus korupsi
Dengan
segala konflik tersebut, Partai Demokrat harus terus bertahan dengan
motivasi-motivasi yang membangun kekuatan antar kader partai untuk memenuhi
kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliasi, kebutuhan kekuasan seperti yang dikemukakan
oleh Mc Clelland.
Rabu, 27 November 2013
KEPEMIMPINAN DAN PERILAKU ORGANISASI2
M I D
KEPEMIMPINAN DAN PERILAKU
ORGANISASI
NAMA :
SUSIYANTI ANA PUSPITA
STAMBUK :
G2G1 12 117
KELAS :
A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS
ADMINISTRASI PENDIDIKAN
PASCA SARJANA UNIVERSITAS HALUOLEO
K E N D A R I
2 0 1 3
1.
Proses
pengangkatan kepala sekolah ditempuh dengan jalur karir dan jalur
pendidikan
a.
Pengangkatan kepala sekolah yang ditempuh dengan jalur
karir
Yukl
(1981: 36) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu sifat, perilaku pribadi,
pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerjasama antar
peran, kedudukan dari suatu jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain
tentang legitimasi pengaruh. Guna lebih memahami makna dari kepemimpinan, Yukl
(1981:36) mengemukakan beberapa teori mengenai pengertian dan defenisi tentang
kepemimpinan: (a) kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu
kelompok kearah tercapainya tujuan; (b) kepemimpinan adalah sekumpulan dari
serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya
kewibawaan untuk dijadikan sebagaimana dalam rangka meyakinkan kepada yang
dipimpinnya, agar mau melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan
rela dan penuh semangat; (c) kepemimpinan adalah proses mengarahkan dari
mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan dari anggota kelompok;
(d) kepemimpinan adalah tindakan atau tingkah laku individu dan kelompok yang
menyebabkan individu dan juga kelompok-kelompok itu untuk bergerak maju, guna
mencapai tujuan pendidikan yang semakin bisa diterima oleh masing-masing pihak,
dan (e) kepemimpinan adalah proses pemimpin menciptakan visi, mempengaruhi
sikap, perilaku, pendapat, nilai-nilai, norma & sebagainya dari pengikut
untuk mereaksi visi.
Dari
uraian diatas telah dikemukakan beberapa defenisi tentang kepemimpinan, dan
tentunya masih banyak defenisi kepemimpinan yang bisa ditemukan lagi. Stogdill
(1974: 7) mengklasifikasikan defenisi kepemimpinan sebagai (1) fokus
proses-proses kelompok; (2) suatu kepribadian; (3) seni mempengaruhi orang
lain; (4) penggunaan pengaruh; (5) tindakan atau tingkah laku; (6) bentuk
persuasi; (7) hubungan kekuasaan; (8) alat mencapai tujuan; (9) akibat
interaksi; (10) perbedaan peran dan (11) inisiasi struktur.
Disini
kita dapat melihat bahwa proses pengangkatan kepala sekolah kinerja sangat
berperan penting untuk bisa memejerial
sekolah sesuai dengan pengalaman kinerja yang telah dilaluinya dengan baik dan
juga telah memenuhi syarat untuk seseorang diangkat menjadi seorang pemimpin
dalam hal ini sebagai pemimpin kepala sekolah. Sedangkan proses pengangkatan
kepala sekolah melalui jalur pendidikan merupakan proses pengangkatan
kepala sekolah dengan melihat Permendiknas
No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah
(Pasal 7 Ayat 2)tingkat
pendidikan seseorang hal initerlihat dalam Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan
dalam kegiatan tatap muka dalam kurun waktu minimal 100 (seratus) jam dan
praktik pengalaman lapangan dalam kurun waktu minimal selama 3 (tiga) bulan.
Sebelum
lahirnya Permendiknas no 28 tahun 2010 ini, telah ada Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 0296/U/1996, tanggal 1 Oktober 1996 tentang
Penugasan Guru Pegawai Negeri Sipil sebagai Kepala Sekolah di lingkungan
Depdikbud dan disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor
: 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah telah
mengarah pasa sistim pembinaan di atas. Ada dua aspek penting dalam kedua Kepmen
tersebut yang sejalan dengan permendiknas no.28 tahun 2010 yaitu : Kepala
Sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah dan
masa jabatan Kepala Sekolah selama 4 (empat) tahun serta dapat diperpanjang
kembali selama satu masa tugas berikutnya bagi kepala sekolah yang berprestasi
sangat baik. Status Kepala Sekolah adalah guru dan tetap harus menjalankan
tugas-tugas guru, mengajar dalam kelas minimal 6 jam dalam satu minggu di samping
menjalankan tugas sebagai seorang manajer sekolah. Begitu juga ketika masa
tugas tambahan berakhir maka statusnya kembali menjadi guru murni dan kembali
mengajar di sekolah. Pada
tataran praktis implementasi kedua Kepmen tersebut tidak berjalan mulus. Banyak
daerah yang tidak memperdulikannya. Kepmen 0296/U/1996 yang berlaku saat
pengelolaan pendidikan dilaksanakan secara terpusat disiasati dengan memutihkan
masa jabatan kepala sekolah setiap terjadi rotasi. Kepala Sekolah yang hampir
habis masa jabatannya dirotasi dan masa jabatannya kembali ke nol tahun. Nasib
Kepmen 162/U/2003 tidak jauh berbeda walaupun relatif lebih baik. Beberapa
daerah sudah mulai melaksanakan Kepmen tersebut. Namun masih banyak yang belum
merealisasikan permen tersebut karena benturan kepentingan dan sulitnya merubah
kultur.Namun pada permendiknas no 28 tahun 2010 yaang akan diberlakukan tahun
2013 yang akan datang masa jabatan diperhitungkan secara komulatif sejak kepala
sekolah tersebut diangkat dan tidak kembali nol walaupun sudah mutasi ke
sekolah lain sebagai kepala sekolah.
Periodisasi
masa jabatan Kepala sekolah yang dilaksanakan secara konsisten dengan penilaian
kinerja yang akuntabel serta transfaran akan mendorong peningkatan mutu
pendidikan di sekolah-sekolah. Kepala Sekolah akan bekerja keras untuk
meningkatkan prestasi sekolahnya sebagai bukti prestasi kinerjanya, sehingga
masa jabatannya bisa diperpanjang atau mendapat promosi jabatan yang lebih
tinggi. Prestasi yang diraih sekolah-sekolah akan meningkatkan mutu pendidikan
di daerah dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Keberhasilan
pelaksanaan periodisasi masa jabatan kepala sekolah sangat tergantung pada
akuntabilitas penilaian kinerja kepala sekolah. Penilaian yang berbau KKN tidak
akan memberikan perubahan yang berarti bagi peningkatan mutu pendidikan.
Penilaian harus dilakukan secara objektif, transfaran
b.
Pengangkatan kepala sekolah yang ditempuh dengan jalur
pendidikan
Permendiknas
No. 28 Tahun 2010 Persyaratan khusus guru
yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah yaitu memiliki
sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai dengan
pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan
Direktur Jenderal. (Pasal 2 Ayat 3 point b). Penyiapan calon kepala
sekolah/madrasah meliputi rekrutmen serta pendidikan dan pelatihan calon
kepala sekolah/madrasah. (Pasal 3 Ayat 1)Pendidikan dan pelatihan
calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan dalam kegiatan tatap muka dalam
kurun waktu minimal 100 (seratus) jam dan praktik pengalaman lapangan dalam
kurun waktu minimal selama 3 (tiga) bulan. (Pasal 7 Ayat 2). Dalam
pandangan manajemen, sertifikat bisa dianggap sebagai bukti formal atas kelayakan
dan kewenangan seseorang untuk memangku jabatan tertentu. Belakangan ini
(terutama setelah diberlakukannya Otonomi Daerah), kerapkali ditemukan kasus
rekrutmen kepala sekolah tanpa disertai Sertifikat Kepala Sekolah, dan
kegiatan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah. Jika seorang guru
direkrut menjadi kepala sekolah tanpa sertifikat dan diklat alias melalui
proses sim
salabim seperti dalam atraksi sulap, barangkali tidak salah jika
ada sebagian orang yang mempertanyakan akan kewenangan dan kelayakan yang
bersangkutan. Dengan adanya ketentuan ini, maka ke depannya diharapkan
tidak terjadi lagi kasus-kasus seperti ini sehingga sekolah
benar-benar dapat dipimpin oleh orang yang layak dan teruji. Dari
pernyataan diatas dapat kita simpulkan bahwa seseorang dianggap layak untk
menjadi sesorang kepala sekolah haruslah menempuh jalur pendidikan dan
pelatihan yang sesuai dengan jalur kepemimpinan. Sekolah berada di titik sentral kehidupan
masyarakat, maka Kepala Sekolah berada di titik yang paling sentral dari
kehidupan sekolah. Keberhasilan atau kegagalan suatu sekolah dalam menampilkan
kinerjanya secara memuaskan banyak tergantung pada kualitas kepemimpinan Kepala
Sekolah. Sejauh manakah kepala sekolah mampu menampilkan kepemimpinan yang baik
berpengaruh langsung tehadap kinerja sekolah. Kinerja sekolah ditunjukkan oleh;
1). Iklim kehidupan sekolah, 2). Etos belajar, 3). Semangat kerja guru, 4.
Prestasi belajar siswa dan 5). Disiplin sekolah secara keseluruhan (Dedi Supriadi,1998;346). C.E Beeby (1981)
dalam bukunya “Pendidikan di Indonesia” menguraikan tentang masih rendahnya
kemampuan Kepala Sekolah baik di Sekolah Dasar maupun di Sekolah Lanjutan,
meski diakui Kepala Sekolah Lanjutan lebih tinggi kualitasnya karena umumnya
berkualifikasi Sarjana, namun tetap saja Kinerja/Kepemimpinan Kepala Sekolah
masih dianggap gagal dimana “sebab utama dari kegagalan dalam kepemimpinan para
Kepala Sekolah ini terletak pada organisasi intern Sekolah lanjutan itu
sendiri”. Sementara Sherry Keith dan
Robert H. Girling (1991) mengutip laporan Coleman Report menyebutkan bahwa
dalam penelitian efektifitas sekolah 32% prestasi siswa dipengaruhi kualitas
manajemen sekolah. Ini berarti bahwa kinerja kepala sekolah dalam manajemen
pendidikan akan juga berdampak pada prestasi siswa yang terlibat di dalam
sekolah tersebut. Dalam aspek kompetensi supervisi dipersyaratkan seorang
kepala sekolah harus bisa merencanakan, melaksanakan, dan menindaklanjuti
program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
Adapun kompetensi sosial mengharuskan kepala sekolah bisa bekerja sama dengan
pihak lain untuk kepentingan sekolah, berpartisipasi dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan, dan memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok
lain.
c.
Kemukakan
kekuatan dan kelemahan jalur – jalur tersebut
Kekuatan
jalur karier
Seseorang yang mempunyai kinerja yang sudah lama telah
mempunyai pengalaman dalam hal proses pembelajaran disekolah maupun disekolah.
Untuk membangun sekolah efektif menurut N. Hatton dan D. Smith (1992) dalam
tulisannya Perspective on Effective school perlu kepemimpinan instruksional
yang kuat, perhatian yang jelas pada hasil belajar, penghargaan murid yang
tinggi, lingkungan yang baik serta pengawasan tingkat prestasi, semua ini akan
terwujud apabila seluruh unsur yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah
berjalan optimal sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Dibutuhkan iklim sekolah
yang baik untuk menjadikan sekolah sebagai sekolah efektif. Menurut Paula F.
Silver (1983) iklim sekolah dibentuk oleh hubungan timbal balik antara perilaku
Kepala Sekolah dan perilaku guru sebagai suatu kelompok. Perilaku Kepala
Sekolah dapat mempengaruhi interaksi interpersonal para guru. Dengan demikian
dinamika kepemimpinan Kepala Sekolah dengan kelompok (guru dan staf) dipandang
sebagai kunci untuk memahami variasi iklim sekolah. Interaksi antara guru dan
kepala sekolah akan menentukan iklim sekolah yang bagaimana yang akan terwujud,
iklim sekolah yang baik dan kondusif bagi kegiatan pendidikan akan menghasilkan
interaksi edukatif yang efektif, meningkatkan motivasi kerja guru dan staf yang
pada akhirnya meningkatkan kinerja guru dan staf, sehingga upaya pencapaian
tujuan pendidikan sekolah akan berjalan dengan baik, dan keadaan sebaliknya
akan terjadi jika iklim sekolah tidak kondusif. Robert Stinger (2002)
menyebutkan perilaku pemimpin mempengaruhi iklim organisasi yang kemudian
mendorong motivasi kerja karyawan. Motivasi merupakan pendorong utama
terjadinya peningkatan kinerja. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional
(Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai :
(1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor
(penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7)
wirausahawan; adapun Kelemahan
jalur karier Pengangkatan kepala sekolah yang menjadi kewenangan daerah
sering kali mengabaikan Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru
sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Padahal, payung hukum ini menetapkan standar
dalam menyiapkan, menilai kinerja, serta mengembangkan keprofesian kepala
sekolah/madrasah. Pengangkatan kepala sekolah lebih didasarkan pada kepentingan
politik pemilihan umum kepala daerah. Akibatnya, kompetensi kepala sekolah
secara umum di bawah rata-rata. Kepala sekolah yang punya sertifikat pendidik
dan kepala sekolah serta ikut pendidikan dan pelatihan kepala sekolah dapat
mempengaruhi kinerja dalam melaksanakan yang telah menjadi kewenangannya.
Keberhasilan pelaksanaan periodisasi masa jabatan kepala sekolah sangat
tergantung pada akuntabilitas penilaian kinerja kepala sekolah. Penilaian yang
berbau KKN tidak akan memberikan perubahan yang berarti bagi peningkatan mutu
pendidikan. Penilaian harus dilakukan secara objektif, transfaran.
Kekuatan jalur pendidikan
Untuk melahirkan seorang kepala sekolah
yang profesional dibutuhkan sistem yang kondusif, baik rekrutmen maupun
pembinaan. Dari proses rekrutmen yang sarat KKN mustahil dilahirkan seorang
kepala sekolah yang profesional. Dibutuhkan sistem rekrutmen yang berfokus pada
kualitas dan pembinaan yang berorientasi pada kinerja dan prestasi dengan
”reward & punishment” yang tegas dan konsekuen untuk melahirkan seorang
kepala sekolah yang tangguh. Pengadaan kepala sekolah merupakan proses
mendapatkan calon kepala sekolah yang paling memenuhi kualifikasi dalam rangka
mengisi formasi kepala sekolah dalam satuan pendidikan tertentu. Rangkaian
kegiatan pengadaan kepala sekolah terdiri dari : penetapan formasi, rekrutmen
calon, seleksi calon dan pengangkatan calon yang paling memenuhi kualifikasi.
Tahap rekrutmen dan seleksi merupakan tahap yang paling krusial, yang jika
terjadi salah langkah pada tahap ini bisa berakibat fatal bagi sekolah yang
mendapat kepala sekolah yang kurang kompeten. Tidak sedikit sekolah yang
sebenarnya memiliki potensi besar karena siswa yang masuk merupakan siswa
berprestasi tapi tidak berkembang, stagnan, bahkan mengalami kemunduran akibat
kepala sekolah yang tidak kompeten. Sedangkan
kelemahan jalur pendidikan dengan
tidak adanya diklat calon kepala sekolah dilaksanakan oleh lembaga diklat
terakreditasi yang merupakan kegiatan pemberian pengalaman pembelajaran teorik
maupun praktik yang bertujuan untuk menumbuh kembangkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan pada dimensi : Kompetensi kepribadian, Kompetensi menejerial,
Kompetensi Kewirausahaan, Kompetensi supervisi dan, Kompetensi soasial akan
sangat bepengaruh terhadap kinerja kepala sekolah dalam menjalankan tugasnya.
d.
Bagaimana
penerapannya pada sekolah :
-
Berskala
regional
di
Indonesia seiring dengan lahirnya Permendiknas No.28 thun 2010 sudah terbentuk
Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS). LPPKS yang mempunyai
Tupoksi menyiapkan pengembangan dan pemberdayaan kepala sekolah mempunyai
kewajiban untuk mesosialisasikan Prog Penyiapan calon Kepsek di kab/kota
seluruh Indonesia dengan harapan :
a.
Tercipta pemahaman yang
sama pada semua lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan diklat calon kepala
sekolah/madrasah;
b.
Pemahaman yang sama
dalam penyelenggaraan diklat akan menghasilkan proses yang terstandar; dan
c.
Proses diklat calon
kepala sekolah/madrasah yang terstandar akan menghasilkan calon-calon kepala
sekolah yang betul-betul berpotensi dan kompeten
Sementara Permen Diknas
no. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah mensyaratkan untuk menjadi
kepala sekolah profesional harus kompeten dalam menyusun perencanaan
pengembangan sekolah secara sistemik; kompeten dalam mengkoordinasikan semua
komponen sistem sehingga secara terpadu dapat membentuk sekolah sebagai
organisasi pembelajar yang efektif; kompeten dalam mengerahkan seluruh personil
sekolah sehingga mereka secara tulus bekerja keras demi pencapaian tujuan
institusional sekolah, kompeten dalam pembinaan kemampuan profesional guru sehingga
mereka semakin terampil dalam mengelola proses pembelajaran; dan kompeten dalam
melakukan monitoring dan evaluasi sehingga tidak satu komponen sistem sekolah
pun tidak berfungsi secara optimal, sebab begitu ada satu saja diantara seluruh
komponen sistem sekolah yang tidak berfungsi secara optimal akan mengganggu
pelaksanaan fungsi komponen-komponen lainnya. Kompleksitas sekolah sebagai
satuan sistem pendidikan menuntut adanya seorang kepala sekolah yang memiliki
kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, sipervisi dan sosial. Robert Stinger (2002)
menyebutkan perilaku pemimpin mempengaruhi iklim organisasi yang kemudian
mendorong motivasi kerja karyawan. Motivasi merupakan pendorong utama
terjadinya peningkatan kinerja. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional
(Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai :
(1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor
(penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7)
wirausahawan;
-
Berskala
internasional
Di
negara-negara maju masalah kepala sekolah ditangani oleh lembaga tersendiri
yang khusus melatih kemampuan kepala sekolah dan mempersiapkan calon kepala
sekolah. Di Singapura ada lembaga ”Leadership School” khusus untuk melatih kepala
sekolah dan mempersiapkan calon-calon kepala sekolah. Lembaga ini sudah go
internasional. Begitu juga di Malasyia, Korea Selatan, Australia dan
negara-negara Eropa memiliki lembaga sejenis.
2.
Dapatkah
guru dikatakan pemimpin formal dan informal pendidikan
a.
Penjelasan dengan dukungan teori atau berupa kebijakan
Ketentuan
UU SPN Nomor 20 Tahun 2003 pada Bab V1 pasal 13 ayat 1 disebutkan bahwa
jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang
dapat saling melengkapi dan memperkaya. Keduanya memiliki perbedaan yang saling
mengisi dan melengkapi. Seperti sudah dijelaskan bahwa jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik
untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai
dengan tujuan pendidikan. Karenanya pemerintah mengundangkan jalur pendidikan. Pemerintah mengagas jalur pendidikan ini dikarenakan sistem
pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dimana yang menjadi
peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi
diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu, tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan dan
pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan.
Berkaitan dengan
pengertian pendidikan terdapat perbedaan yang
jelas antara pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan
nonformal. Sehubungan dengan hal ini Coombs (1973) membedakan pengertian
ketiga jenis pendidikan itu sebagai berikut: Pendidikan formal adalah
kegiatan yang sistematis, bertingkat/berjenjang,
dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang
setaraf dengannya; termasuk kedalamnya
ialah kegiatan studi yang
berorientasi akademis dan umum, program
spesialisasi, dan latihan professional, yang
dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Pendidikan informal adalah proses
yang berlangsung sepanjang usia sehingga sehingga setiap orang memperoleh
nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang bersumber
dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh
lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga,
hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar,
perpustakaan, dan media massa. Pendidikan nonformal ialah setiap
kegiatan teroganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang ,
dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang
lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di
dalam mancapai tujuan belajarnya.
Ketiga pengertian
di atas dapat digunakan
untuk membedakan program pendidikan yang
termasuk ke dalam setiap jalur pendidikan tersebut.
Sebagai bahan untuk menganalisis berbagai program pendidikan maka
ketiga batasan pendidikan di atas perlu diperjelas lagi dengan kriteria yang
dapat membedakan antara pendidikan yang program-programnya bersifat
nonformal dengan pendidikan yang program-programnya bersifat informal dan
formal. Perbedaan antara pendidikan yang program-programnya bersifat nonformal
dan informal dapat dikemukakan sebagai berikut. Pendidikan yang
program-programnya bersifat nonformal memiliki tujuan dan kegiatan yang
terorganisasi, diselenggarakan di lingkungan masyarakat
dan lembaga-lembaga, untuk melayani kebutuhan belajar
khusus para peserta didik. Sedangkan
pendidikan yang program- programnya bersifat
informal tidak diarahkan untuk melayani kebutuhan belajar yang
terorganisasi. Kegiatan pendidikan
ini lebih umum, berjalan
dengan sendirinya, berlangsung terutama dalam lingkungan
keluarga, serta melalui media massa, tempat bermain, dan lain
sebagainya. Apabila kegiatan yang termasuk pendidikan yang
program-programnya bersifat informal ini diarahkan untuk mencapai tujuan
belajar tertentu maka kegiatan tersebut dikategorikan baik ke dalam
pendidikan yang program-programnya bersifat nonformal maupun pendidikan
yang program-programnya bersifat formal. Kleis
(1974)
memberi
batasan umum bahwa pendidikan adalah
sejumlah pengalaman yang dengan pengalaman
itu, seseorang atau kelompok orang dapat memahami sesuatu yang sebelumnya
tidak mereka pahami Pengalaman itu terjadi karena adanya interaksi antara
seseorang atau kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan proses
perubahan (belajar) pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu
menghasilkan perkembangan (development) bagi kehidupan seseorang atau
kelompok dalam lingkungannya. Proses belajar itu akan menghasilkan
perubahan dalam ranah kognitif (penalaran,penafsiran, pemahamandan penerapan informasi), peningkatan kompetensi
(keterampilan intelektual
dan sosial), serta pemilihan dan
penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap,
penghargaan dan perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau
merespon sesuatu rangsangan. Proses perubahan (belajar) dapat terjadi dengan
disengaja atau tidak disengaja. Pandangan lain tentang
pendidikan dikemukakan oleh Axiin (1974),
yang membuat penggolongan program-program kegiatan yang termasuk ke dalam
pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan menggunakan kriteria adanya
atau tidak adanya kesengajaan dari kedua pihak yang berkomunikasi,
yaitu pihak pendidik (sumber belajar atau fasilitator) dan pihak peserta
didik (siswa atau warga belajar). Pandangan pendidikan yang dikemukakan oleh Axinn ini
tertuang dalam bentuk tabel:
PENDIDIKPESERTA DIDIK
|
BERSENGAJA
|
TIDAK BERSENGAJA
|
BERSENGAJA
|
Pendidikan sekolah atauPendidikan
luar sekolah
|
Kegiatan belajardiarahkan diri
sendiri
(self-directed
learning)
|
TIDAK BERSENGAJA
|
Pendidikan informal
|
Belajar secara
kebetulan(incidental learning)
|
Melalui tabel di atas dapat kita ketahui bahwa dengan adanya
kesengajaan dari kedua pihak dalam proses pembelajaran merupakan ciri
utama pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah dan
pendidikan sekolah mempunyai ciri umum yang sama, yaitu adanya kegiatan yang
disengaja dan terorganisasi. Dan keduanya merupakan subsistem dari pendidikan
nasional. Dengan membandingkan karakteristik pendidikan sekolah terhadap
karakteristik pendidikan luar sekolah (Ryan, 1972:11), sebagai ilustrasi, di satu pihak,
pendidikan sekolah memiliki program berurutan untuk setiap jenis dan jenjang
pendidikan dan dapat diterapkn secara seragam di semua tempat yang
memiliki kondisi sama. Di pihak lain, pendidikan luar
sekolah mempunyai program yang
tidak selalu ketat dalam programnya. Program pendidikan sekolah memiliki
tingkat keseragaman yang ketat, sedangkan
program pendidikan luar sekolah lebih bervariasi dan lebih luwes.
b.
Uraikan
keterkaitan antara pemimpin formal dan informal
Dalam
GBHN TAP MPR (Garis Besar Haluan Negara Ketetapan MPR) dinyatakan: “Pendidikan
berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga,
sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan ialah tanggung jawab bersama
antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.” Hal ini berarti setiap manusia
Indonesia diharapkan supaya selalu berkembang sepanjang hidup dan di lain pihak
masyarakat dan pemerintah diharapkan agar dapat menciptakan situasi yang
menantang untuk belajar. Prinsip ini berarti masa sekolah bukanlah satu-satunya
masa bagi setiap orang untuk belajar melainkan hanya sebagian dari waktu
belajar yang akan berlangsung seumur hidup.Konsep pendidikan seumur hidup
merumuskan suatu asas bahwa pendidikan adalah suatu proses yang terus menerus
(continue) dari bayi sampai meninggal dunia. Konsep ini sesuai dengan konsep
Islam seperti yang dicantumkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan
belajar dari buaian hingga liang lahad (pintu kubur).Sebenarnya ide pendidikan
seumur hidup telah lama dalam sejarah pendidikan, tetapi baru populer sejak
terbitnya buku Paul Langerend “An Introduction to Life Long Education” (sesudah
Perang Dunia II) kemudian diambil alih oleh Internaional Comission on The
Development of Education (UNESCO).
Istilah
pendidikan seumur hidup (long life integrated education) tidak dapat diganti
dengan istilah-istilah lain sebab isi dan luasnya (scope-nya) tidak persis sama
seperti istilah out of school education, continuing education, adult education,
further education, rewirent education.
Lingkungan Pendidikan Formal
1. Pengertian Lingkungan Pendidikan Formal
Lingkungan pendidikan formal menurut Dinn Wahyudin (2007 : 3.9) adalah
suatu satuan (unit) sosial atau lembaga sosial yang secara sengaja dibangun
dengan kekhususan tugasnya untuk melaksanakan proses pendidikan. Dalam Undang –
Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab I Pasal 11 dijelaskan
bahwasannya pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstuktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
2. Bentuk Pendidikan Formal
Pada jalur pendidikan formal pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar dan
Madrasah Ibtidaiyah serta Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah.
Jenjang pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas , Madrasah Aliyah,
Sekolah Menengah Kejuruan dan Madrasah Aliyah Kejuruan. Sedangkan pendidikan
tinggi berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
3. Tujuan Pendidikan Formal
Pendidikan formal atau sekolah mempunyai tujuan pendidikan sesuai dengan
jenjang bentuk dan jenisnya. Tujuan sekolah dapat ditemukan pada kurikulum
sekolah yang bersangkutan. Tujuan sekolah umumnya adalah memberikan bekal
kemampuan kepada peserta didik dalam mengembangkan kehidupannya (Wahyudin, 2007
: 3.9)
4. Karakteristik Pendidikan Formal
Adapun karakteristik pendidikan formal antara lain (a) lebih menekankan
pengembangan intelektual; (b) peserta didik bersifat homogen; (c) isi
pendidikan terprogram secara formal/kurikulumnya tertulis; (d) terstruktur,
berjenjang dan bersinambungan; (e) waktu pendidikan terjadwal dan relatif lama;
(f) cara pelaksanaan pendidikan bersifat formal dan artificial; (g) evaluasi
pendidikan dilaksanakan secara sistematis; (h) credential harus ada dan penting
(Wahyudin, 2007 : 3.11)
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur
dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan perguruan tinggi. Pendidikan formal terdiri
dari pendidikan formal negeri dan pendidikan formal berstatus swasta. Adapun
tujuan dari diselenggarakannya pendidikan formal adalah sebagai berikut:
a. Membantu lingkungan keluarga untuk
mendidik dan mengajar, memperbaiki, memperluas pengetahuan, dan tingkah laku
peserta didik yang dibawa dari keluarga serta membantu pengembangan bakat.
b. Mengembangkan keperibadian peserta
didik lewat kurikulum agar;
-
Peserta didik dapat bergaul dengan lingkungan sekolahnya.
-
Mempersiapkan peserta didik terjun di masyarakat berdasarkan
norma yang berlaku.
c. Membentuk dasar atau pondasi cara-
cara/pola berpikir yang sistematis dan konseptual secara konsisten dan terarah.
d. Melatih dan menanamkan sikap mental
dan emosional yang matang, dewasa dan mandiri. Sehingga biasanya seorang yang
berpendidikan tinggi lebih dapat mengendalikan sikap dan emosinya secara baik.
e. Mengajarkan banyak disiplin ilmu
dengan berbagai teori-teori dan ilmu pengetahuan yang ada sehingga wawasan dan
pengetahuan menjadi banyak dan luas.
f. Menanamkan disiplin belajar yang
sangat tinggi, sehingga seseorang yang berpendidikan akan lebih terbiasa untuk
belajar dan belajar lagi.
Lingkungan Pendidikan Informal
1.
Pengertian
Lingkungan Pendidikan Informal
Menurut Undang Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Bab 1 Pasal 13, Pendidkan Informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pelaksanaan pendidikan berlangsung tidak dengan
cara-cara artificial, melainkan secara alamiah atau berlangsung secara wajar,
oleh sebab itu pendidikan dalam keluarga disebut pendidikan informal.
2.
Bentuk
Pendidikan Non Formal
Bentuk pendidikan informal adalah keluarga. Bentuk keluarga berdasarkan
keanggotaannya, menurut Kamanto Sunarto (Wahyudin, 2007 : 3.11) dibedakan
menjadi keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family).
Keluarga batih adalah keluarga terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Sedangkan keluarga luas adalah keluarga yang terdiri atas beberapa keluarga
batih.
3.
Tujuan
Pendidikan Informal
Sekalipun tidak ada tujuan pendidikan dalam keluarga yang dirumuskan
secara tersurat, tetapi secara tersirat dipahami bahwa tujuan pendidikan dalam
keluarga pada umumnya adalah agar anak menjadi pribadi yang mantap, beragama,
bermoral, dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Fungsi pendidikan dalam
keluarga menurut Wahyudin (2007 : 3.7) adalah (a) sebagai peletak dasar
pendidikan anak, dan (b) sebagai persiapan ke arah kehidupan anak dalam
masyarakatnya.
4.
Karakteristik
Pendidikan Informal
Karakteristik pendidikan informal antara lain :
(a) tujuan pendidikan lebih menekankan pada pengembangan karakter; (b)
peserta didiknya bersifat heterogen; (c) isi pendidikan tidak terprogram secara
formal; (d) tidak berjenjang; (e) waktu pendidikan tidak terjadwal ketat,
relatif lama; (f) cara pelaksanaan pendidikan bersifat wajar (g) evaluasi
pendidikan tidak sistematis dan incidental; (h) credential tidak ada dan tidak
penting (Wahyudin, 2007 : 3.6)
Dari pengertian dan
beberapa pendapat diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa keterkaitan antara
pendidikan formal dan pendidikan informal sangatlah erat karna keberhasilan
peserta didik tidak hanya ditunjang dari pendidikan formal tetapi juga
pendidikan informal di lingkungan keluarga berperan pada perkembangan anak
didik.
c.
Uraikan
faktor – faktor yang mendukung sehingga guru dapat menjadi pemimpin yang ideal
dibidang pendidikan
Jabatan kepala sekolah diduduki oleh orang yang menyandang profesi guru.
Karena itu, ia harus profesional sebagai guru sekaligus sebagai kepala sekolah
dengan derajat profesionalitas tertentu. Kepala sekolah memiliki fungsi yang
berdimensi luas. Kepala sekolah dapat memrankan banyak fungsi, yang orangnya
sama, tetapi topinya berbeda (Danim dan Chairil, 2010:79). Dari penjelasan di
atas maka dapat disimpulkan jabatan kepala sekolah itu harus profesional
sebagai guru ataupun kepala sekolah. Di lingkungan Departemen Pendidikan
Nasional (yang sekarang berganti nama menjadi Kementerian Pendidikan Nasional,
Kemendiknas) telah cukup lama dikembangkan paradigma baru administrasi atau
manajemen pendidikan, dimana kepala sekolah minimal harus mampu berfungsi
sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator dan
motivator, disingkat EMASLIM. Jika merujuk pada Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar
Kepala Sekolah/Madrasah, kepala sekolah juga harus berjiwa entrepreneur. Atas
dasar itu, dalam kerangka menjalankan fungsinya, kepala sekolah harus memrankan
diri dalam tatanan perilaku yang disingkat EMASLIM, sebagai singkatan dari education,
manager, administrator, supervisor, leader, inovator, motivator, dan
entrepreneur.
Jika Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 menyebutkan bahwa Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, dan
Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain sesuai kekhususannya, maka setiap Pendidik memang merupakan Tenaga
Kependidikan, tetapi setiap Tenaga Kependidikan belum tentu seorang Pendidik /
Guru. Kasubdit Pendidikan Menengah Ditjen PMPTK Depdiknas dalam suatu Seminar
Nasional tentang Kepala Sekolah mengungkapkan pula tentang Kebijakan Direktorat
Tenaga Kependidikan masa sekarang ini bahwa Tenaga Kependidikan itu meliputi
Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, Pustakawan, Laboran, dan Tenaga Tata Laksana
/ Administrasi Sekolah.
Berarti seorang Kepala Sekolah
walaupun dipersyaratkan harus berasal dari seorang guru namun setelah diangkat
sebagai kepala sekolah maka yang bersangkutan sebaiknya tidak lagi berstatus
Guru / Pendidik melainkan sebagai Tenaga Kependidikan / Kepala Sekolah
Profesional dengan tugas dan fungsi yang sudah jelas memerlukan perhatian
khusus layaknya profesi kependidikan lain seperti Pengawas Sekolah, Laboran,
dan Pustakawan. Dalam beberapa kesempatan kegiatanpun saat ini seringkali
seorang kepala sekolah tidak diperkenankan mengikuti kegiatan yang
diperuntukkan bagi guru.
Memperhatikan pasal-pasal pada
Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 ternyata para Calon Kepala Sekolah dan Kepala
Sekolah dihadapkan pada penafsiran ganda. Artinya kualifikasi dan kompetensi
tersebut bisa diartikan sebagai syarat memasuki wilayah profesi kepala sekolah.
Setelah yang bersangkutan diangkat sebagai kepala sekolah maka statusnya
sebagai pendidik / guru menjadi lepas. Namun bisa pula ditafsirkan sebagai
memperkuat status lama yakni "hanya" seorang guru yang diberi tugas
tambahan sebagai kepala sekolah. Jika itu yang terjadi maka sebelah kakinya
masih menginjakkan ke wilayah profesi guru, sebelah lagi menginjak profesi
kepala sekolah.
Disisi lain penetapan Standar
Kepala Sekolah ini memang sangat positif dimasa keterbukaan dengan
akuntabilitas publik yang semakin baik sekarang ini. Permen ini tentu tidak
berdiri sendiri sebagai satu piranti hukum dalam mengatur dan upaya
meningkatkan mutu Standar Pendidikan Nasional kita. Ditjen PMPTK telah menyusun
suatu pedoman tentang Pengembangan Mutu Kepala Sekolah untuk kedua jalur yakni
dari rekruitment calon kepala sekolah dan jalur peningkatan mutu kepala sekolah
yang sudah dan sedang menjabat.
Untuk bisa diangkat sebagai Kepala Sekolah
seorang guru yang lulus seleksi harus mengikuti Sertifikasi melalui Diklat
Cakep 900 jam yang diakhiri dengan Uji Kompetensi. Jika dinyatakan lulus
sebagai Cakeppun masih harus melalui Uji Publik di hadapan beberapa unsur
stake-holders dimana sekolah itu berada. Jika uji publik (semacam pemaparan
visi dan misi lengkap dengan beberapa perencanaan) ini dapat dilalui barulah
yang bersangkutan dapat diangkat dan ditempatkan di suatu sekolah sebagai
kepala sekolah definitif. Sedangkan bagi kepala sekolah yang sedang menjabat,
prosesi peningkatan mutu dilakukan dengan Uji Kompetensi
Berkenaan dengan Standar
Kompetensi, seseorang dapat diangkat sebagai Kepala Sekolah jika dia memiliki
kompetensi-kompetensi sebagai berikut :
a. Kompetensi kepribadian;
b. Kompetensi Manajerial;
c. Kompetensi Kewirausahaan;
d. Kompetensi Supervisi;
e. Kompetensi Sosial.
Guru dapat diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah untuk memimpin
dan mengelola pendidikan di sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Regulasi penugasan guru sebagai kepala sekolah diatur dalam Keputusan Menteri
Pendidikan Indonesia nomor : 162/U/2003 tanggal 24 Oktober 2003 tentang Pedoman
Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah.
Kepala sekolah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling
berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagaimana dikemukakan dalam
Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 bahwa: “Kepala sekolah bertanggungjawab atas
penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga
kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan
prasarana”.
Guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah apabila memenuhi
persyaratan umum dan persyaratan khusus
Persyaratan umum meliputi :
1. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
yang maha Esa
2. usia setinggi-tingginya 56 tahun
3. sehat jasmani dan rohani berdasarkan
surat keterangan dari dokter
4. tidak pernah dikenakan hukuman
disiplin sedang dan berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku
5. aktif mengajar dan/atau membimbing
skurang-kurangnya 5 tahun pada sekolah yang setingkat dan sejenis dengan
sekolah yang akan menjadi tempat bertugas
6. DP3 serendah-rendahnya memperoleh
nilai amat baik untuk unsur kesetiaan dan nilai baik untuk unsur penilaian
lainnya dalam 2 (dua) tahun terakhir
Persyaratan Khusus
1. calon kepala TK, berijazah
serendah-rendahnya Diploma II PGTK atau yang sederajat dan telah memiliki
jabatan Guru Muda
2. calon kepala SD, berijazah
serendah-rendahnya diploma II PGSD atau yang sederajat dan telah memiliki
jabatan Guru Muda Tk.I
3. calon kepala SDLB, berijazah
serendah-rendahnya Diploma III Pendidikan Luar Biasa (PLB)/Sarjana Muda PLB
(pendidikan khusus) dan memiliki jabatan Guru Muda Tk.I
4. calon kepala SLTP, berijazah
serendah-rendahnya Sarjana (S1) dan memiliki jabatan Guru madya
5. calon kepala SMU, berijazah
serendah-rendahnya Sarjana(S1) dan memiliki jabatan Guru Dewasa
6. calon kepala SMk :
a.
berijazah
serendah-rendahnya Sarjana (S1) dan memiliki jabatan Guru Dewas
b.
memiliki
pengetahuan tentang hubungan kerja dan kerjasama dengan dunia usaha atau dunia
industri
c.
memiliki
wawasan tentang unit produksi
7. calon kepala SLB berijazah
serendah-rendahnya Sarjana (S1) dan memiliki jabatan Guru Dewasa
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di atas
calon kepala SMU,SMK, dan SLB diutamakan bagi mereka yang dapat berkomunikasi
dalam Bahasa Inggris dan atau Bahasa Asing lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)